
JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati, mengatakan bahwa mekanisme pemulihan termasuk peradilan gagal menyelesaikan kekerasan sistematis yang menimpa perempuan. Sebaliknya, negara justru melakukan kekerasan sistematis tersebut, baik melalui berbagai kebijakan yang diskriminatif, tindakan perampasan ruang hidup perempuan maupun stigma melalui pernyataan pejabat publik.
Negara, menurutnya, telah menjadi pelaku kekerasan sistematis di dua level, yaitu membiarkan (by ommission) dan melakukan (by commission).
"Tidak bisa dielakkan, negara Indonesia masih abai melindungi perempuan dan bersamaan melakukan diskriminasi," ujar Asfinawati dalam 'Konferensi Pers Online Hari Perempuan Internasional 2021', Senin (8/3/2021).
Absennya negara dalam melindungi segenap warganya di masa pandemi semakin terlihat pada kelompok minoritas gender dan seksual. Diskriminasi tetap subur, kelompok transpuan kehilangan mata pencaharian. Alih-alih serius menangani pandemi, kelompok transpuan diperlakukan dengan tidak manusiawi, baik oleh aparat kepolisian dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Elyarumiyati dari JALA PRT mengatakan, pemerintah juga tidak berpihak pada Pekerja Rumah Tangga (PRT). RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) mangkrak selama 17 tahun karena dianggap tidak berkontribusi untuk menyelamatkan krisis ekonomi.
Kondisi PRT yang mayoritas perempuan, menurutnya, sudah bertahun-tahun terombang-ambing dalam ketidakpastian kerja dan tidak ada perlindungan hukum dari negara. Jam kerja yang tidak pasti, upah yang tidak manusiawi, kekerasan dari majikan baik secara verbal maupun seksual kerap dialami oleh pekerja rumah tangga.
"Sebanyak 4,2 juta PRT adalah perempuan penopang ekonomi keluarga. Mereka bekerja di situasi yang tidak layak, eksploitatif dan rawan perbudakan modern," kata Elyarumiyati.
Di tengah situasi krisis kesehatan dan krisis kemanusiaan yang semakin memburuk, pemerintah dinilai justru lebih berorientasi terhadap ekonomi demi kepentingan elite oligarki.
Kasus perampasan lahan dan ruang hidup serta pengrusakan alam terus terjadi di berbagai daerah. Ketidakadilan sistematis ini, menambah beban perempuan, termasuk perempuan adat. Ketika perempuan bersuara, upaya pembungkaman dengan jalan kekerasan justru kerap terjadi. Ibu dan anak-anak disebut sebagai korban yang paling riskan.
Sementara itu, Nurcahyani Eva dari Lingkar Studi Feminis mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya di KTT G-20 memang mengangkat isu Pemberdayaan Perempuan. Namun, penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan justru tidak dibarengi dengan implementasi kebijakan yang memprioritaskan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Tak hanya itu, kasus-kasus kekerasan masa lalu seperti tragedi perkosaan Mei 1998, juga bahkan belum diakui oleh negara.
Sepanjang pandemi, Eva juga berpendapat masih banyak kesehatan perempuan yang tidak dijamin. Perempuan juga harus mengalami beban pekerjaan ganda baik profesional maupun domestik. Dalam lingkup pendidikan kampus, Eva menambahkan masih banyak kasus kekerasan yang diabaikan dan tidak ditangani secara perspektif korban.
"Maka dari itu, kita sebagai anak muda juga perlu menyuarakan aspirasi untuk mewakili para perempuan dan gerakan akar rumput. Kita ingin pemerintah meratifikasi konvensi ILO dan pengesahan RUU PKS," tegas Eva.
Alih-alih dipraktikkan, demokrasi dinilai hanya sekadar lip service oleh pemerintah. Aspirasi rakyat yang disuarakan dan diekspresikan dengan aksi-aksi damai, tidak digubris dan justru ditanggapi dengan represif. Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang diwarnai dengan serentetan pembungkaman dan kekerasan terhadap masyarakat disebut sebagai salah satu contohnya.
Setelah UU Cipta Kerja disahkan pada Februari 2021, pemerintah mulai menyusun peraturan turunan untuk berbagai sektor dan beberapa perusahaan mulai mempraktikannya. Dalam bidang ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja melegalkan praktik-praktik buruk. UU Cipta Kerja juga mempermudah praktik investasi skala besar yang menihilkan hak-hak sosial-masyarakat dan lingkungan.
Pers yang memperjuangkan demokrasi termasuk di dalamnya jurnalis perempuan yang meliput aksi demonstrasipun tidak lepas menjadi korban kekerasan. Sepanjang 2020, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 84 kekerasan terhadap jurnalis, tertinggi dalam satu dekade terakhir. Sebagian besar adalah intimidasi, kekerasan fisik dan perusakan alat kerja yang mayoritas dilakukan oleh oknum aparat.
Tak hanya itu, hasil survei AJI Jakarta pada Agustus 2020 menemukan, sebanyak 25 dari 34 responden yang berpartisipasi dalam survei, mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Mayoritas pelaku adalah pejabat publik.
"Momen hari ini, kami menuntut negara untuk lebih serius melindungi hak pekerja media perempuan. Perusahaan media juga harus memenuhi hak pekerja perempuan dan berkomitmen untuk melindungi jurnalis yang menjadi korban kekerasan seksual. Penanganannya harus serius dan dijamin oleh perusahaan dengan membela korban dan memberi pemulihan untuk korban," ujar Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Ika Ningtyas.
Dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional 2021 yang jatuh setiap 8 Maret, GERAK Perempuan yang terdiri dari gerakan masyarakat sipil atas berbagai kelompok dari seluruh Indonesia, mengajak perempuan dan seluruh lapisan masyarakat untuk "Melawan kekerasan terhadap perempuan, menantang sistem politik yang mengabaikan hak rakyat!".
"Mari kita perkuat persatuan rakyat, termasuk koalisi dan solidaritas masyarakat sipil, dalam mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, menolak RUU Ketahanan Keluarga serta membatalkan UU Cipta Kerja," sebut pernyataan tertulis GERAK Perempuan.
Video Terkait:
6 Perempuan Dijual, Dijadikan PSK
Komentar