POLHUKAM

Rakyat Muak Vonis Ringan Koruptor

Koruptor bansos Juliari Batubara. (Net)
Koruptor bansos Juliari Batubara. (Net)


JAKARTA - Rasa keadilan masyarakat mendapat pukulan bertubi-tubi. Kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum, terutama di bidang pemberantasan korupsi, dilecehkan oleh deretan skandal vonis ringan para koruptor kakap.

Lihat saja bagaimana institusi hukum begitu lunak terhadap Pinangki Sirna Malasari, Djoko Tjandra dan Juliari Batubara. Tiga nama besar dalam kasus korupsi yang menjadi perhatian publik dalam beberapa waktu terakhir.

Pertengahan Juni lalu, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman penjara terhadap mantan jaksa, Pinangki Sirna Malasari, yang merupakan terpidana kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang. Cukup fantastis, dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara.

Pemotongan hukuman diputuskan majelis hakim dengan mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya, Pinangki dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya. Sebulan kemudian, kabar buruk datang lagi dari pengadilan yang sama. Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong vonis Djoko Tjandra dari 4 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun 6 bulan penjara. Djoko merupakan terpidana dalam kasus dugaan suap pengecekan status red notice, penghapusan nama dari DPO, serta pengurusan fatwa Majelis Hakim.

Sebelumnya, pada 5 April 2021, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta vonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan atas Djoko. Djoko Tjandra dinilai terbukti menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sebesar 500 ribu dolar AS, memberikan suap senilai 370 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura kepada Irjen Napoleon Bonaparte serta 100 ribu dolar AS kepada Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Ia juga terbukti melakukan permufakatan jahat bersama Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya dan Anita Kolopaking untuk mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung dengan kesepakatan membayar biaya 10 juta dolar AS.


Yang juga dikritik masyarakat adalah vonis 12 tahun penjara terhadap koruptor dana bantuan sosial (bansos) COVID-19, mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara. Majelis hakim Pengadilan Tipikor mengungkapkan, salah satu alasan yang meringankan vonis Juliari adalah sang koruptor sudah terlalu menderita karena dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat. Skandal lainnya adalah kebijakan pemberian remisi umum Hari Kemerdekaan RI kepada 214 narapidana koruptor belum lama ini. Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM itu sungguh melukai hati masyarakat karena meringankan hukuman mereka yang sebelumnya merampok uang rakyat.

Menanggapi terlukanya rasa keadilan publik akibat keputusan para hakim, pengamat politik dan hukum dari Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam, berpendapat bahwa aparat penegak hukum Indonesia semakin mendapatkan persepsi negatif. Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Agung, pun semakin tidak bisa dipercaya. Kesan meng-anak emas'-kan koruptor semakin memperburuk situasi dalam negeri, di saat semua pihak sedang berjuang keras menangani krisis anggaran dalam rangka penanggulangan pandemi COVID-19. Ditambah lagi dengan fakta bahwa rakyat semakin merasakan betapa sulit mencari nafkah di tengah pagebluk ini.

"Mereka, pelaku tindak pidana korupsi, seperti diberi angin segar dengan adanya putusan ringan dari pengadilan," kata Saiful kepada Info Indonesia, Selasa (24/8/2021).

Saiful menganggap harus ada tindakan konkret dari keinginan untuk memberantas korupsi dari hulu sampai hilir. Selain itu, diperlukan kekompakan untuk memberantas korupsi secara serius.

"Sebab, saat ini rakyat sudah muak dengan adanya putusan ringan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, apalagi hal tersebut dilakukan oleh pejabat negara," terangnya.

Dia menilai program pencegahan korupsi yang menjadi tanggung jawab KPK dan lembaga hukum lainnya tidak berjalan dengan maksimal. Padahal, 'jantung’ upaya pemberantasan korupsi ada pada program pencegahan. Dia juga secara khusus menyorot buruknya performa KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, termasuk di sektor pencegahan.

Saiful mengatakan, sudah semestinya semua terdakwa korupsi di Indonesia dihukum seberat-beratnya. Apalagi jika korupsi itu dilakukan terhadap anggaran penanganan dampak pandemi. Dalam konteks ini, si terdakwa dapat dituntut dengan hukuman mati. Dia melanjutkan, hakim semestinya lebih mengedepankan efek dari korupsi yang ditimbulkan. Diperlukan kesadaran hakim secara menyeluruh dalam memutuskan vonis terhadap pejabat negara yang terbukti korup.

"Saya kira, setelah ditinggal Artidjo Alkostar (mantan hakim agung), putusan hakim terhadap tindak pidana korupsi makin kacau, sehingga banyak koruptor justru diputus ringan oleh hakim," ujar Saiful.

Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai, secara umum vonis pengadilan terhadap koruptor masih belum maksimal. Masyarakat dapat melihat penegakan hukum belum sepenuhnya berpihak kepada korban kejahatan. Contoh terbaru adalah vonis 12 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim kepada Juliari Batubara, benar-benar tidak masuk akal dan semakin melukai hati korban korupsi bansos.

"Betapa tidak, melihat dampak korupsi yang dilakukan oleh Juliari, ia sangat pantas dan tepat untuk mendekam seumur hidup di dalam penjara," kata Kurnia.

Alasan hakim meringankan sanksi Juliari, yaitu karena politikus PDI Perjuangan itu sudah cukup menderita akibat hinaan pubik, adalah sangat mengada-ada dan tidak bisa diterima.

Menurut Kurnia, cercaan dari masyarakat adalah hal wajar karena dampak dari praktik korupsi Bansos COVID-19 sangatlah besar. Apalagi, perampokan itu dilakukan secara sadar oleh Juliari Cs di tengah ambruknya kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat. Menurut dia, cercaan, makian, dan hinaan dari masyarakat tidak sebanding dengan penderitaan yang dirasakan banyak orang.

Sedangkan pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mempertanyakan alasan yang meringankan dalam vonis Juliari. Dari mana hakim memperoleh pengetahuan tentang perlakuan masyarakat terhadap Juliari? Menurutnya, aktivitas sosial hakim sangat terbatas bahkan dibatasi. Tampaknya media sosial menjadi referensi hakim dalam memutus vonis Juliari. Jika benar demikian, maka benar bahwa kerja hakim juga bisa dijelaskan lewat public opinion model. Bedanya, dalam kasus Juliari, amarah warganet tidak menginspirasi hakim untuk menghasilkan putusan yang merepresentasikan sentimen serupa. Sebaliknya, bacaan hakim terhadap opini publik justru memunculkan simpati hakim terhadap diri terdakwa.

Reza mempertanyakan, apakah aktif memperoleh dan mempertimbangkan hal-hal yang tidak dihadirkan di persidangan merupakan kerja yudisial yang dapat dibenarkan. Lantas, seberapa jauh hakim dibolehkan membuka diri terhadap pengaruh opini khalayak.

"Juga, ketika pada akhirnya hakim bersimpati pada terdakwa akibat unsur ekstrayudisial tersebut, apakah itu pertanda terusiknya objektivitas hakim?" kata Reza.

Menurut dia, untuk mengungkap hal itu dibutuhkan kajian dan penyikapan serius. Termasuk dengan mengecek seberapa jauh kode etik dan pedoman perilaku hakim telah menyentuh masalah tersebut. Yang jelas, patut diduga bahwa putusan hakim pada kasus Juliari menunjukkan betapa media sosial memiliki power dalam memengaruhi emosi hakim. Bahkan, berpotensi menyimpangkan kerja hakim.

Spesifik dalam kasus Juliari, kata Reza, informasi dari media sosial tidak digunakan untuk memahami substansi perkara secara lebih akurat, melainkan justru tanpa sadar membangun sentimen positif atas diri terdakwa. Dengan segala macam sisi rawan yang ada pada media sosial, penting bagi MA dan Komisi Yudisial (KY) untuk mengambil langkah guna melindungi para hakim dari ekses negatif teknologi informasi dan komunikasi yang bisa muncul.

"Pertanyaan utamanya bukan pada boleh tidaknya hakim menggunakan media sosial, melainkan pada bagaimana sang pengadil dapat bermedia sosial tanpa keluar dari parameter etika dan integritas yudisial," terang Reza.


Video Terkait:
Tanda Gempa Sukabumi, Hiu Paus Mendekati Pantai
Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo