JAKARTA - Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Jafee Arizona Suardin baru-baru ini mempublikasikan ke publik terkait kinerja Wilayah Kerja Blok Rokan di bawah Pertamina.
Dalam paparannya, dia membeberkan pendapatan bagi negara sebesar Rp2,7 triliun, yang diperoleh dari aktivitas pengelolaan lapangan minyak di Blok Rokan selama dua bulan. Rincian penerimaan itu diberikan melalui penjualan minyak mentah bagian negara sekitar Rp2,1 triliun, dan pembayaran pajak sekitar Rp607,5 miliar termasuk pajak-pajak ke daerah.
”Kontribusi ini merupakan salah satu bukti nyata bagaimana kehadiran kegiatan usaha hulu migas, dalam hal ini operasi PHR, memberikan manfaat secara langsung bagi negara dan daerah," kata Direktur Utama PHR, Jaffee Arizon Suardin dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Jumat (5/11/2021).
Namun, menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resource Indonesia (CERI) Yusri Usman, hal itu tak perlu dilakukan oleh Jafee. Selaku dirut anak perusahaan Pertamina, publikasi tersebut terkesan pencitraan yang tidak substansial di media massa.
Yusri menjelaskan, Dirut PHR menurutnya akan lebih baik jika membeberkan produksi minyak Blok Rokan saat ini. Terutama setelah PHR melakukan pemboran sebanyak 80 sumur dari total target 161 sumur di tahun ini, ketimbang sekadar menampilkan angka pendapatan bagi negara.
Menurut Yusri, Dirut PHR juga dipandang lebih penting untuk membeberkan ke masyarakat komitmen PHR memulihkan fungsi lingkungan hidup di Riau. Pasalnya, terjadi laporan mengenai pencemaran limbah bahan berbahaya, beracun (B3) dari operasi kerja Blok Rokan.
"Pemulihan itu menjadi kewajiban PHR karena ada penugasan dari SKK Migas mulai 26 Juli 2021, diantaranya pemulihan fungsi lingkungan hidup akibat ratusan titik lokasi limbah B3 tanah terkontaminasi minyak (TTM)," ungkap Yusri.
Selain kewajiban membersihkan limbah B3 TTM, untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup, dijelaskan Yusri, terdapat sekitar 3.297 sumur yang tidak berproduksi bekas PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Blok Rokan, yang juga harus ditutup atau dipulihkan, Abandonment and Site Restoration (ASR). Serta 17 fasilitas lainnya, yang juga harus dibongkar oleh CPI sesuai aturan perundang undang untuk kepentingan lingkungan.
Dijelaskan Yusri, tugas PHR terkait pemulihan lingkungan atas kegiatan pascaoperasi atau ASR, bukan hal mudah. Sebab, secara spesifik harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU Cipta Kerja 11/2020 klaster Lingkungan Hidup; PMK No. 140/PMK.06/2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Hulu Minyak dan Gas Bumi; Permen ESDM 15/2018 tentang Kegiatan Pasca Operasi Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi dan PTK SKK MIGAS No. 040/PTK/XI/2018 Rev.01 tentang Abandonment and Site Restoration (ASR).
Sementara mengenai pemulihan limbah B3 TTM Blok Rokan, menurut Yusri, merupakan tugas penting dan berat bagi PHR. Mengingat begitu banyaknya pemulihan yang harus dilakukan.
Jadi, kata Yusri, tugas-tugas penting Dirut PHR itu, jauh lebih penting dari pada mengungkap bahwa PHR berhasil sumbang Rp 2,7 triliun kepada negara.
"Karena, mayoritas publik sudah sangat paham jika soal jumlah setoran pajak mencapai Rp 2,7 triliun dan jauh lebih tinggi dari biasanya itu, lebih disebabkan harga minyak mentah dunia melambung sekitar USD72 per barel, bukan hasil kinerja atau prestasi PHR," ungkap Yusri.
Harusnya, lanjut Yusri, Jafee lebih tepat mengungkap berapa produksi minyak Blok Rokan setelah alih kelola PT CPI, yaitu setelah tanggal 8 Agustus 2021 hingga saat ini.
"Kemudian mengungkap langkah-langkah efisiensi yang telah dilakukan PHR sehingga Biaya Pokok Produksi atau BPP per barel PT PHR lebih rendah dari PT CPI," ulas Yusri lagi.
Yusri juga mempertanyakan, apakah sekarang produksi PHR di Blok Rokan sudah mencapai 165.000 barel per hari atau masih jauh di bawah itu atau sudah di atas itu?
"Hal ini jauh lebih penting diungkap ke publik," ungkap Yusri.
Kemudian, jauh lebih penting lagi masyarakat menunggu keterangan PHR melaksanakan penugasan untuk memulihkan limbah B3 TTM warisan PT CPI. Maupun akibat dari aktivitas pemboran PHR sendiri, yang pasti ada limbahnya, sehingga harus dipulihkan.
"Karena menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya pada Pasal 424, pada intinya PHR harus segera menetapkan pihak ketiga, untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup atas beban biaya perusahaan yang menghasilkan limbah. Harus mulai dipulihkan paling lambat 30 hari kerja, jika merujuk penugasan dari SKK Migas sejak Juli 2021. Apakah PHR tidak termasuk ikut melanggar aturan juga?" ungkap Yusri.
"Jafee mungkin lupa, jika harga minyak lagi tinggi, sudah pasti Subholding Hulu Pertamina berpesta. Namun di saat bersamaan saudaranya sendiri, Subholdihg Hilir Pertamina lagi berdarah-darah cash flow-nya karena pemerintah tidak mengoreksi harga jual BBM subsidi tetap Solar dan Premium sebagai BBM penugasan. Begitu juga sebaliknya jika harga minyak mentah rendah, maka sektor hulu yang berdarah-darah," ungkap Yusri lagi.
Sementara itu, dilansir situs resmi Kementerian ESDM pada 15 Oktober 2021, produksi rata-rata Blok Rokan sebesar 160,5 ribu barel minyak per hari untuk minyak bumi, atau sekitar 24 persen dari produksi nasional dan 41 MMSCFD untuk gas bumi.
Presiden Joko Widodo pun pada 12 Agustus 2021 lalu pernah menyatakan agar, alih kelola Blok Rokan dari PT CPI ke PHR, bisa menggenjot produksi minyak nasional.
Selanjutnya, menurut Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Julius Wiratno mengatakan dengan jumlah kegiatan pengeboran dan ketersediaan alat yang lebih masif, maka produksi di Blok Rokan ditargetkan bisa lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya.
"Sampai Desember 2021 nanti dengan rig sekitar 17-18 yang mengebor, ditargetkan produksi bisa sekitar 175.000-180.000 barel per hari. Nah, janji ini yang ditunggu oleh publik, tutup Yusri. (*)
Editor:
Komentar