POLHUKAM

Pemuda Adat Papua Laporkan Dugaan Maladministrasi Penunjukan Sekda ke Ombudsman

DPN Pemuda Adat Papua mendatangi Gedung Ombudsman RI di Jakarta, Selasa (9/11/2021). (Ist)
DPN Pemuda Adat Papua mendatangi Gedung Ombudsman RI di Jakarta, Selasa (9/11/2021). (Ist)


JAKARTA - Dewan Pimpinan Nasional Pemuda Adat Papua melaporkan dugaan maladmistrasi dua Keputusan Presiden (Keppres) terkait pengangkatan Ridwan Rumasukun sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua ke Ombudsman RI. 

Dua Keppres yang dilaporkan yaitu Nomor 148/TPA Tahun 2021 tentang pemberhentian dan Nomor 149/TPA Tahun 2021 tentang pengangkatan.

Ketua Umum DPN Pemuda Adat Papua, Jan Christian Arebo, bersama Wakil Ketua Umum Petrodes Mega Keliduan mendatangi Gedung Ombudsman RI di Jakarta, Selasa (9/11/2021).

"Saya Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Pemuda Adat Papua bersama wakil ketua umum datang memasukkan aduan terkait Keputusan Presiden Nomor 148 dan 149 yang diterbitkan dalam rangka melantik Sekda Papua atas nama Ridwan Rumasukun. Yang mana di dalam Keppres itu ada maladministrasi atau cacat hukum," ujar Jan. 

Maladministrasi dimaksudnya karena merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 17/2020 sebagaimana perubahan PP Nomor 11/2017 Tentang Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Tinggi Madya di Instansi Pemerintah serta Manajemen Aparatur Sipil Negara harus melalui uji kompetensi dan seleksi terbuka. 


"Nah, Keppres ini sudah melanggar PP Nomor 17/2020," kata Jan. 

Sementara, pengumuman hasil seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi madya di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua yang dirilis 19 Juni 2020 tidak tercantum nama Ridwan Rumasukun. 

"Yang ikut seleksi itu Juliana J Waromi, Doren Wakerwa, Wasuok Demianus, Dance Yulian Flassy dan Basiran," sebutnya. 

Jan menjelaskan, sebelumnya memang ada seleksi terbuka yang dilakukan Ditjen Otonomi Daerah, dalam hal ini Akmal Malik sebagai ketua tim seleksi. Dari empat peserta yang lolos ke tahap seleksi berikutnya kemudian terpilih Dance Yulian Flassy. 

"Tapi tidak dipraktekkin bapak gubernur dengan alasan melampaui kewenangan dan masa pensiun. Sedangkan kita ketahui aturan ASN batas usia pensiun 60 tahun, bukan 58 tahun," bebernya. 

Lebih lanjut, terkait laporannya itu, Jan meminta ORI melakukan investigasi. Sebab, dari penjelasan Deputi Bidang Administrasi Sekretaris Kabinet, Farid Utomo, membenarkan dua Keppres tersebut dikeluarkan oleh Istana. Salinan Keppres pemberhentian Dance Yulian sebagai Sekda Papua hingga kini belum diterimanya. 

"Apakah benar yang disampaikan Bapak Farid Utomo itu. Jika tidak benar, bapak Presiden harus mencopot para pembantunya yang sudah mencatut nama Presiden dalam memalsukan dokumen negara untuk kepentingan tertentu. Karena ini sudah mendiskreditkan wibawa negara dan konstitusi negara," jelas lulusan Lemhanas RI angkatan VIII-2014 itu. 

Sementara itu, Petrodes menilai, pelantikan Ridwan Rumasukun tidak memberikan edukasi yang baik tentang penyelenggaraan pemerintahan atau birokrasi kepada rakyat. 

"Kok tanpa seleksi, tiba-tiba beliau jadi sekda. Kecuali ada hal yang sangat urgensi, misalnya berhalangan tetap atau meninggal atau ada hal-hal terbukti secara hukum dia pernah melakukan pelanggaran. Itu yang kami pertanyakan kepada Presiden," terangnya. 

"Sebenarnya ada hal apa sehingga Rumasukun harus menjabat sebagai sekda. Sementara sudah ada surat keputusan yang dikeluarkan dan juga Presiden kepada Pak Flassy," tambahnya. 

Petrodes mengingatkan, saat ini Papua dihadapkan Otonomi Khusus Jilid II, sehingga akan ada kebijakan-kebijakan membutuhkan sekda yang pro rakyat dan tentu saja melalui seleksi yang ketat. 

"Sekda ini jantung birokrasi, jangan salah," ucapnya. 

Untuk itu, pihaknya juga sudah menyiapkan tim hukum ihwal terbitnya Keppres 148 dan 149 yang digunakan melantik Ridwan Rumasukun sebagai Sekda Papua. 

"Tim hukum nantinya lebih spesifik menjelaskan poin-poinnya," Jan menambahkan.

Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo