POLHUKAM

Jokowi Perintahkan Vaksinasi Booster Bulan Depan, Stoknya Belum Jelas

Ilustrasi. (Net)
Ilustrasi. (Net)


JAKARTA - Presiden Joko Widodo memerintahkan penyuntikan vaksin COVID-19 dosis ketiga dilakukan Januari 2022. Pemerintah mengaku sudah menyiapkan skemanya. Namun, yang tak kalah penting diperhatikan adalah kecukupan stok vaksin dan pembiayaannya.

Selain vaksinasi booster, Presiden juga memerintahkan percepatan pemberian vaksin COVID-19 terhadap masyarakat rentan dan juga anak-anak yang belum divaksin. Percepatan vaksinasi terhadap masyarakat rentan dan anak-anak diperlukan untuk mencegah penularan varian baru Omicron, yang berdasarkan kajian, banyak menjangkiti anak-anak.

“Dalam hal ini karena yang banyak juga terdampak adalah anak-anak, maka vaksinasi anak-anak perlu untuk terus didorong,” kata Airlangga dalam keterangan resmi usai rapat terbatas dengan Presiden Jokowi, Senin (6/12/2021).

Presiden meminta jajarannya terus mengevaluasi dan mengawasi perkembangan varian Omicron yang telah terdeteksi di 45 negara. Sementara, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga meminta adanya genome sequencing dan membatasi kegiatan masyarakat untuk menekan penularan Omicron. Airlangga menyampaikan, vaksin booster akan diberikan lewat dua skema. Pemerintah akan menyiapkan vaksinasi khusus bagi penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan dan menyiapkan skema bagi masyarakat yang bukan penerima PBI.

"Kami sedang finalkan terkait vaksin berbasis PBI dan non-PBI. Ini akan diatur dengan peraturan Menteri Kesehatan dalam waktu yang tidak terlalu lama," ucapnya.


Selama ini pemerintah menyuntik vaksin COVID-19 secara gratis bagi 208.265.720 penduduk setelah vaksinasi diperluas ke usia remaja dan anak. Terkait capaian vaksinasi nasional, Airlangga menyampaikan bahwa cakupan vaksinasi dosis pertama adalah sebesar 68,42 persen dan dosis kedua sebesar 47,55 persen dari target yang telah ditetapkan. Masih terdapat sembilan provinsi yang cakupan vaksinasi dosis pertamanya di bawah 50 persen, yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Tenggara, Aceh, dan Papua.

Booster Harus Gratis
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Ede Surya Darmawan, menyorot rencana vaksinasi booster bulan depan dari sisi pembiayaan yang belum jelas. Menurut dia, negara harus bertanggung jawab dan menggratiskan vaksin booster untuk seluruh rakyat Indonesia.

"Kalau untuk kepentingan pandemi, negara mesti tampil. Harusnya vaksin booster tidak berbayar, itu prinsipnya," kata Ede kepada Info Indonesia, tadi malam.

Pemberian vaksin ketiga dengan cuma-cuma adalah bentuk perlindungan kepada rakyat. Jadi, perkara bayar atau gratis bukan hal yang semestinya diributkan karena pemenuhan vaksinasi di tengah pandemi berkepanjangan adalah kewajiban pemerintah.

"Kalau saat pandemi, negara yang bertanggung jawab. Jangan diributkan. Kalau ada satu orang terkena virus corona dan tidak terlindungi, dampak negatifnya bisa ke mana-mana, dapat menularkan orang banyak," terangnya.

Ede berharap vaksinasi booster bisa menggunakan vaksin dari dalam negeri. Tujuannya untuk menghemat biaya pembelian vaksin dari luar negeri. Di luar vaksin booster, Ede menilai penyelesaian cakupan vaksinasi dosis pertama dan kedua lebih mendesak. Upaya berikutnya adalah pemerintah serius membuat masyarakat patuh protokol kesehatan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas).

"Jadi sebaiknya pemerintah tidak harus gembar gembor vaksin ketiga, yang harus kita dorong itu vaksinasi lengkap bisa selesai secepatnya," tegas Ede.

Pastikan Kecukupan Vaksin
Sepemikiran dengan Ede, ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Laura Navika Yamani, menilai, pemerintah seharusnya menyelesaikan lebih dulu target cakupan vaksin ketimbang gembar-gembor booster di Januari 2022. Dia memastikan vaksinasi booster akan membutuhkan stok vaksin yang lebih banyak. Padahal, untuk menuntaskan dosis pertama dan kedua sangat tergantung pada keberadaan vaksin di dalam negeri.

"Kalau misalnya kemudian difokuskan pada pemberian booster, nanti dikhawatirkan fokus untuk pemerataan distribusi dari vaksin bisa tidak dicapai," kata Laura.

Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, menyatakan, tidak ada yang bisa dilakukam pemerintah untuk menambah jumlah vaksin dari luar negeri. Untuk mendapatkan vaksin, Indonesia harus mengikuti mekanisme COVAX.

"Mekanisme COVAX itu mengikuti target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 40 persen di akhir 2021. Jadi mau diplomasi model apapun ya tetap saja kuota vaksin kita segitu, kecuali kita negara produsen, maka kita memiliki keistimewaan untuk melindungi penduduk kita terlebih dahulu," kata Masdalina.

Apalagi WHO sudah membuat regulasi terkait harga vaksin dan distribusinya. Salah satu aturannya jalan tidak boleh ada negara yang memonopoli vaksin dan mendorong semua negara bisa mandiri pada industri vaksin dan obat. Dia mengakui, butuh biaya sangat besar untuk mencapai kemandirian vaksin dan obat corona. Meski investasi yang mahal, tapi itu harus dilakukan. Indonesia tidak boleh tergantung dengan negara lain. Itulah esensi dari ketahanan di bidang kesehatan.

Menurut dia, pandemi COVID-19 ini merupakan pelajaran bagi dunia. Negara-negara yang memiliki ketahanan sistem kesehatan baik cenderung lebih siap menghadapi pandemi walaupun kasus melonjak tinggi. Contohnya adalah Singapura.

"(Di Singapua) tidak ada terlihat mayat atau penguburan antri seperti di India dan Indonesia, sekalipun ada serangan varian Delta. Sistem kesehatan mereka dapat menghadapinya," jelas Masdalina.

Artikel ini juga dimuat di Koran Info Indonesia.


Video Terkait:
Inilah Sinyal Jokowi Tiga Periode
Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo