
Darminto M. Sudarmo seperti mesin kejut buat saya. Saya coba jelaskan detailnya, dengan syarat Anda tidak perlu ikut-ikutan terkejut dan tidak perlu pula Pak Dar ikut-ikutan Anda. Sebab kalau beliau sekarang ikut terkejut, kita semua yang akan terkejut berlanjut-lanjut.
Desember 2001, saya terkejut saat membaca Harian Kompas. Ternyata, ada ya, orang yang dengan serius dan mendalam menulis tentang humor dan tokoh humor di media massa arus utama. Saya pun segera menghubungi redaksi Kompas untuk meminta informasi si penulis kolom hari itu dan dapatlah namanya, kontaknya, alamat rumahnya (yang kala itu masih di Kebon Jeruk, Jakarta Barat).
Lengkap. Dari situ, pertemuan rutin saya dan Pak Dar dimulai. Saat bertemu tatap muka, yang kami bicarakan humor. Di telepon, humor lagi. Mungkin orang-orang yang sekilas curi dengar pembicaraan kami bakal merasa aneh, ada orang dewasa yang sedang mencari “kebahagiaan” dengan menelepon satu sama lain membicarakan humor, apalagi keduanya sama-sama pria dewasa. Tapi, ngapain peduli omongan orang kalau kami menikmatinya? Ya, memang begitu adanya.
Sebagai seorang praktisi dan akademisi pajak, saya terus terang bertahuntahun hidup seperti Batman. Bertahun-tahun saya memakai “topeng” karena takut untuk menunjukkan identitas asli saya, yang sejak kecil sudah sangat menggemari humor. Saya saat itu belum siap dianggap “aneh” oleh klien hingga petugas pajak.
Pasalnya, sangat tidak lazim orang-orang di bidang yang saya tekuni ini menyukai humor sampai mengoleksi ragam produk-produk turunannya, tak terbatas pada buku kumpulan kartun; DVD film, sitcom, dan stand-up comedy; majalah tentang humor; serta lainnya. Namun gara-gara bertemu dan berkawan dengan Pak Dar, saya seperti dibimbing keluar dari “zaman kegelapan” itu.
Ternyata, sama sekali tidak ada salahnya menjadi orang yang gila humor di antara profesi dan lingkungan kerja yang seringkali terlalu serius sampai bikin “gila”. Justru, humorlah yang menjadi penyeimbang, bahkan penyemangat, di tengah rutinitas saya. Sedikit demi sedikit, saya dikenalkan dengan teori humor, buku-buku penting dalam kajian humor, hingga tokoh-tokoh dan pemikir humor, baik dari luar maupun dalam negeri.
“Mas Danny sudah kenal Arthur Koestler? Bukunya bagus dan perlu dibaca, mas, tentang korelasi humor dan kreativitas!” Dari obrolan macam itu, saya jadi membeli buku The Act of Creation (1964), salah satu buku penting dalam sejarah kajian humor. Lebih kurang, obrolan-obrolan macam inilah yang berulang dan berakibat pada bertambahnya terus buku-buku dan referensi tentang humor hingga sekarang terkumpul di The Library of Humor Studies – perpustakaan humor pertama di Indonesia dan dunia versi MURI yang dikelola oleh Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3).
Kejutan lainnya adalah saat saya akhirnya bisa bersinggungan dengan para tokoh dan pemikir humor hebat negeri ini. Lewat Pak Dar, saya bisa berelasi dengan orang-orang yang karyanya dulu sebatas saya nikmati, seperti alm. Arswendo Atmowiloto, Jaya Suprana, hingga Seno Gumira Ajidarma – seorang budayawan yang ternyata sangat all-out juga untuk urusan humor.
Nama yang terakhir saya sebut yang paling spesial, karena saya, Pak Dar, dan Pak Seno lalu sepakat mendirikan lembaga kajian humor IHIK3 di tahun 2016. Tak berhenti di sana, keluarga Arwah Setiawan, filsuf humor kita sekaligus pendiri Lembaga Humor Indonesia (LHI), juga dekat dengan Pak Dar.
Periode 1990-1994, beliau sempat aktif di LHI. Berkat kedekatan personal ini, aset tulisan Arwah dan semangat dari LHI itu bisa kami hidupkan lagi dan mengalir menjadi DNA IHIK3. Kejutan ternyata belum berakhir di sana. Lewat IHIK3, Pak Dar ternyata masih ingin terus aktif berkarya mendialogkan pemikiran dan analisisnya seputar dunia humor.
Beliau pernah bilang kepada saya, bahwa dirinya hanyalah seorang “petani kata-kata”, yang memang aktivitasnya tidak lain dan tidak bukan adalah menyemai, memupuk, dan memanen kata-kata tadi. Dari sekadar menulis kolom hingga mengedit tulisan-tulisan yang tim kami hasilkan, sampai pada akhirnya, di tengah pandemi pada Oktober 2020, Pak Dar bersama IHIK3 berhasil meluncurkan buku Anatomi Lelucon di Indonesia.
Bahkan di April 2021, beliau masih bisa merampungkan buku terakhirnya, Babak Belur Belajar Berpikir, sebuah buku biografi dan pembabakan pemikiran Jaya Suprana. Sejauh yang saya tahu, beberapa bulan sebelum berpulang, Pak Dar juga masih menginisiasi pembuatan ensiklopedia kartunis Indonesia. Maklum, di dunia kartun, mantan Pemimpin Redaksi majalah HumOr tersebut termasuk yang sangat disegani karena turut mendirikan Kelompok Kartunis Kaliwungu (KOKKANG) bersama Itos Boedy Santosa.
Beliau menjadi guru dan kawan kartunis-kartunis hebat yang karya-karyanya berseliweran setiap hari di media massa maupun media sosial kita, seperti Jitet Koestana, Ifoed, dan Wahyu Kokkang. Selain masih terkejut karena Pak Dar ternyata masih punya visi dan inisiatif sebesar itu untuk dunia humor Indonesia menjelang akhir hayatnya, saya pribadi juga terkejut karena ditinggal oleh Pak Dar di hari Selasa, 21 Desember 2021 kemarin.
Kendatipun awal November lalu, beliau sempat memberi semacam pertanda dengan menelepon saya supaya mau mengamankan buku-buku dari rumahnya untuk dijadikan koleksi IHIK3. “Sayang kalau nanti dimakan rayap semua, mas,” katanya kala itu. Saya tebak, beliau sebenarnya juga sekalian ingin bilang, “Lagian kalau rayap-rayap itu makan buku-buku humor saya, mereka enggak akan jadi lebih pintar berhumor juga.”
Dari obrolan singkat itu, angan saya terbang sejenak saat bertamu pertama kali di rumahnya di Kebon Jeruk. Detik itu juga, saya sudah ngiler ke koleksi buku-buku Pak Dar. Sampai pertemuan terakhir kami sebelum pandemi di tahun 2019, ketika melayat mendiang istrinya, saya juga masih menyimpan hasrat yang sama. Setidaknya kini, kami merasa senang masih bisa menyelamatkan mayoritas warisan buku-buku kajian humor beliau di perpustakaan IHIK3 – walaupun hitungannya kami hanya mendapat “sisa jatah” para rayap.
Dari deretan kejutan yang pernah beliau hadirkan, saya masih percaya seorang Darminto M. Sudarmo masih akan memberi kejutan-kejutan lain dalam hidup saya, kendatipun ia sudah tidak bisa mengejutkan saya secara harfiah. Mungkin lewat tulisan kenangan ini, Anda tiba-tiba ingin ikut mewujudkan mimpi besar beliau bersama IHIK3. Ya siapa tahu, kan? Betul tidak, Pak Dar?
Danny Septriadi
(co-founder Institut Humor Indonesia Kini)
Editor:
Komentar