POLHUKAM

Kasus Kuningan Place, KY Harus Berani Tindak Hakim yang Diduga 'Bermain'



JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) diharap memiliki cara yang lebih kreatif dan juga berani dalam membongkar kasus dugaan mafia hukum dalam persidangan yang melibatkan PT Brahma Adhiwidia (BA) dengan PT Kemuliaan Megah Perkasa (KMP).

Demikian disampaikan mantan kuasa hukum PT Brahma Adhiwidia (BA), Andreas FK saat dikonfirmasi Info Indonesia, Senin (10/1/2022), terkait adanya laporan dari masyarakat yang diterima KY, soal dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman prilaku hakim, di Pengadilan Tinggi Jakarta, yang memeriksa, mengadili, dan memutus Perkara Nomor 283/PID/2019/PT.DKI., tanggal 17 September 2019 silam.

Meski sudah tidak lagi menjadi kuasa hukum dari PT Brahma Adhiwidia, Andreas mengaku tetap mengikuti proses hukum yang sedang berjalan di KY. Bahkan, sepengetahuan dirinya, sudah ada dua saksi yang dipanggil untuk dimintai keterangan oleh pihak KY.

Adalah Tjin Pit Fan atau Theresia selaku Sekretaris dari PT BA. Disampaikan Andreas, pada saat pemanggilan Theresia, dirinya turut mendampingi bersama Geraldy Sinaga sebagai kuasa hukum sekaligus sosok yang mendapatkan petunjuk adanya indikasi pelanggaran hukum. Saat diminta keterangan, mereka mengaku mengatakan apa adanya sesuai petunjuk yang ada dalam rekaman.

Sedangkan pihak kedua yang dipanggil KY adalah Zulvia, yang diduga menemui seseorang bernama Jack di Pengadilan Tinggi Jakarta. Namun Zulvia tidak kunjung memenuhi panggilan dari KY hingga pemanggilan kedua, dan KY akan berencana menjemput paksa apabila pada panggilan ketiga Zulvia kembali tidak datang. Andreas menduga, Zulvia ada main dengan pihak KMP karena kerap mengelak untuk dimintai keterangan.


"Sayangnya Ibu Zulvia ini tidak datang, dengan berbagai alasan, seperti wah saya sudah tidak kerja lagi sama PT Brahma atau bilang wah saya lupa," kata Andreas.

Andreas menjelaskan, PT BA sempat mendapatkan tawaran dari Purwani untuk menemui Jack di Pengadilan Tinggi. Belum diketahui secara jelas apa profesi dari sosok yang bernama Jack. PT BA memenuhi tawaran untuk menemui Jack, yang diwakili oleh Zulvia dan Theresia, karena keduanya merupakan bagian dari PT BA. Tanpa sepengetahuan mereka, terdapat tim dari kuasa hukum PT BA yang bernama Geraldy Sinaga merekam pembicaraan mereka.

"Setelah didengarkan itulah ada indikasi suap, dari pihak lawan yakni Indri Gautama kepada hakim," katanya.

Sehingga hal tersebut menjadi alasan munculnya dugaan kepada sosok Zulvia. Karena dalam rekaman tersebut,  Zulvia dan Jack paling berperan di situ, dan mengindikasikan bahwa hakim pengadilan tinggi telah disuap oleh pihak Indri Gautama.

"Begini loh, kenapa dia diduga, Bu Zul juga diduga, itu kan akhirnya bicara uang, jadi intinya kalau PT Brahma mau bayar sekian-sekian ya dibantu, kalau tidak ya mereka bela yang bayar," katanya.

Untuk membongkar dugaan mafia hukum ini, KY juga harus berani untuk menyelidiki pengacara dari pihak tersangka untuk menemui petunjuk secara kuat bahwa hakim-hakim telah terindikasi suap. Andreas menduga, pengacara dari pihak tersangka lebih mengetahui dugaan korupsi yang melibatkan jaksa dan hakim karena berperan sebagai mediator. Sehingga, apabila KY serius menangani persoalan ini, maka ia meminta agar pengacara Indri Gautama juga patut untuk diselidiki.

"Jadi sebenarnya kalau memang mau terbongkar semuanya lawyernya pun harusnya diselidiki. Cuma lawyer kan punya undang-undang advokat, tetapi untuk membongkar ini ya memang diperlukan cara-cara kreatif, inovatif, dan keberanian," kata Andreas.

Selain itu, dia berharap Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia dapat memberikan perannya dalam membongkar dugaan permainan mafia hukum yang ada di persidangan. Peran Kemenpolhukam semakin penting, terlebih orang-orang yang terlibat dalam kasus ini adalah orang yang paham secara hukum, sehingga untuk menemukan bukti-bukti maka dinilai akan lebih sulit.

"Perlu pendekatan atau pembicaraan secara khusus, biasanya supaya ini bisa terbongkar dengan baik, ya memang dibutuhkan semua petunjuk, karena kalau bukti saja susah," ujarnya.

Secara spesifik, Andreas berharap Kemenpolhukam melakukan tindakan yang berani dan tidak hanya sekedar dengan kata-kata dan teori. Tetapi juga mampu mengungkap bagaimana kejadian yang ada di lapangan.

"Harus berani, dan menerima bukan hanya pendapat, tapi pengalaman dilapangan yang berhubungan dengan kasus, jangan pendapat jangan teori, bosen kita," kata dia.

Dugaan Penipuan

Sengketa ini bermula ketika Indri Gautama menawarkan unit Lt 7 dan Lt 8 dengan peruntukan kantor atau Gedung Komersil dengan dukungan buku panduan Fit Out dan buku Tata Tertib Jones Lang LaSelle pada 2011 lalu, kepada PT Brahma Adhiwidia.

Bangunan seluas 2.000 meter persegi itu pun dibeli seharga Rp34,661,426,800, pada November tahun 2011 dari pihak pengembang, yakni PT KMP. PT Brahma Adhiwidia melakukan pembayaran pertama sebesar dua miliar rupiah yang ditransfer ke Gereja Generasi Apostolik milik Indri Gautama. Sedangkan sisa angsurannya sampai dengan lunas ke rekening PT KMP.

Selanjutnya PT KMP pada 14 Januari 2013 mengajukan Revisi RTLB dan IMB menjadi Sarana Pendidikan dengan merujuk pada Permohonan Izin Sekolah tertanggal 7 Desember 2010 dengan Surat No. 003/KMP/2013 yang disetujui Gubernur DKI saat itu.

Lalu, Indri Gautama membuat Surat Pernyataan yang menyatakan mewakili pemilik dari lantai 6,7,8,9,10,11 Lumina Tower untuk merubah peruntukan menjadi sarana pendidikan, padahal lantai 7 dan 8 jelas-jelas milik PT Brahma Adhiwidia.

Atas itu, PT KMP diadukan ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan penipuan, penggelapan dan memberikan keterangan palsu. Sejumlah Pasal disangkakan diantaranya pasal 263, 266, 372, 378 dengan Laporan Polisi No.LP/557/V/2017/Bareskrim dengan terlapor Indri Gautama (yang mengaku sebagai pemegang saham sekaligus Komisaris Utama KMP) dan Yusuf Valent (Direktur Utama Kemuliaan Mega Perkasa).

Indri Gautama dan Yusuf Valent juga diduga berbohong ke Gubernur DKI Jakarta kala itu Joko Widodo, dengan mengaku mendapatkan izin dari pemilik dan merubah peruntukan aset orang lain menjadi sekolah, hingga Gubernur DKI mengeluarkan izin prinsip perubahan peruntukan menjadi sekolah milik Indri Gautama.

Persidangan

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Indri Gautama dan adiknya Gunarto telah dihadirkan sebagai saksi pada persidangan yang digelar  28 November lalu. Dalam kesaksiannya, Indri mengaku jika dirinya yang menjual lantai itu ke PT Brahma, di mana saat itu kapasitas dirinya selaku Komisaris PT KMP, meski awalnya sempat tidak mengakuinya. Dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Asiadi Sembiring, Indri yang juga seorang Pendeta itu terlihat tegang menjawab pertanyaan hakim yang tegas itu.

Persoalan PPBJ, IMB dan peruntukkan Lumina Tower yang dibangun pun sempat membuat berang Hakim, karena Indri Gautama terkesan berbelit memberikan keterangan. Setelah dicecar oleh Hakim bahkan sampai berkali-kali diingatkan kalau dirinya berada di bawah sumpah, Indri akhirnya akui jika di PPBJ tertulis untuk Kantor Non Hunian, padahal IMB tertulis Hunian.

Saat dikonfrontir dengan Terdakwa, Indri dengan emosi menyatakan sejak awal memang bangunan tersebut untuk rumah ibadah dan auditorium.

Sementara saksi Gunarto yang merupakan direktur keuangan PT. KMP tidak jadi memberikan keterangannya karena terlalu tegang sehingga tidak mampu menjawab pertanyaan hakim dengan baik dan diminta hakim untuk memberikan keterangan pada sidang berikutnya yang digelar Senin 3 Desember.

Dan keterangan berbelit yang diberikan Indri sebagai  Komisaris Utama dan Yusuf Valent sebagai Direktur Utama di persidangan justru menimbulkan pertanyaan besar. Siapakah pemegang saham sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap hal ini?

Terlepas dari siapa sosok di belakang Indri, PN Jaksel pada tanggal 15 Juli 2019, Majelis Hakim yang diketuai Asiady Sembiring telah memutuskan bahwa Yusuf Valent selaku Dirut PT. Kemuliaan Megah Perkasa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penipuan atas perbuatan menjual unit ruang kantor yang ternyata adalah auditorium, dengan menjatuhkan vonis sembilan bulan penjara dengan masa percobaan 1,5 tahun.

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa Penuntut Umum selama satu tahun penjara, padahal tuntutan Jaksa sudah sangat ringan dibandingkan dengan perbuatan terdakwa yang merugikan konsumennya.

Berharapan memperolaeh keadilan dari Majelis hakim banding Pengadilan Tinggi Jakarta, justru tidak didapat pihak PT. BA yang telah mengalami kerugian mencapai lebih dari  Rp100 Miliar.

Majelis hakim banding PT DKI, justru memutuskan tujuh amar. Pertama. membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Kedua, membebaskan terdakwa Valent Yusuf dari dakwaan-dakwaan JPU terkait dengan delik penipuan atau membuat surat palsu. Tiga, merehabilitasi nama baik Valent dalam kedudukan harkat dan martabatnya.

Putusan PT DKI dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA), yang memvonis bebas Valent Yusuf dalam perkara penipuan pembelian unit apartemen seharga Rp34,661,426,800 di tahap kasasi. PT KMP merupakan developer yang membangun 3 tower The Kuningan Place, Kuningan, Setia Budi, Kota Jakarta Selatan. Perkara di tahap kasasi ditangani dan diadili oleh majelis hakim agung kasasi yang dipimpin langsung oleh Ketua Kamar Pidana MA Suhadi dengan anggota Desnayeti dan Soesilo. Kasasi perkara ini lebih dulu diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) pada 29 Oktober 2019. Kasasi dimohonkan JPU menyikapi putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Nomor: 283/PID/2019/PT DKI tertanggal 17 September 2019.

Majelis hakim agung kasasi menyatakan, telah membaca secara saksama memori kasasi dan alasan-alasan yang diajukan JPU pada Kejari Jaksel, salinan putusan PN Jaksel, salinan putusan PT DKI Jakarta, dan surat-surat lain yang bersangkutan. Majelis menilai, alasan permohonan kasasi JPU tidak dapat dibenarkan. Majelis menyatakan, sepakat dengan putusan judex facti atau PT DKI Jakarta yang telah membebaskan terdakwa Valent Yusuf.

"Mengadili, satu, menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut. Dua, membebankan biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan dan pada tingkat kasasi dibebankan kepada Negara," kata Ketua Majelis Hakim Agung Kasasi Suhadi saat pengucapan putusan.

Putusan ini diputuskan dalam rapat musyawarah majelis hakim pada Senin, 18 Mei 2020 oleh Suhadi sebagai ketua majelis bersama dua hakim anggota yakni Desnayeti dan Soesilo. Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari dan tanggal itu juga oleh ketua majelis yang dihadiri dua hakim anggota serta Dwi Sugiarto sebagai panitera pengganti. JPU pada Kejari Jaksel dan Valent Yusuf tidak hadir saat pengucapan putusan.

Editor: