POLHUKAM

Ada Pemain di Pemprov DKI Menipu Jokowi Saat Jadi Gubernur

Ilustrasi. (Net)
Ilustrasi. (Net)


JAKARTA - Terdapat dugaan permainan pihak tertentu dalam pengambilan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait pemberian izin alih fungsi Lantai 7 dan 8 Lumina Tower The Kuningan Place pada tahun 2013 lalu.

Pengamat Politik Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN), Efriza, mengatakan, kesalahan pengambilan kebijakan itu perlu diselesaikan demi memperbaiki nama baik Pemprov DKI.

"Tentu ini kalau dilihat bisa sampai ke pemprov itu, dalam tanda kutip ada pemainnya, dan itu harus diselesaikan. Bagaimana dengan Jokowi, umumnya pemerintah itu dalam kasus-kasus itu cuma penandatanganan," jelasnya kepada Info Indonesia, Senin (17/1/2022). 

Menurut Efriza, Joko Widodo yang ketika itu menjabat gubernur DKI Jakarta tidak serta merta memahami dan terlibat langsung dalam pemberian izin alih fungsi di Lumina Tower. Tentu ada tim dan pegawai pemprov yang menangani terlebih dahulu proses tersebut.

"Bisa jadi memang ada orang-orang dari pemprov, yang dalam tanda kutip, itu memberikan jalan kesempatan untuk itu, sampai akhirnya diproses dan di-ACC," katanya.


Dugaan adanya keterlibatan pegawai Pemprov DKI untuk memberi jalan kepada pihak pengembang The Kuningan Place semakin kuat karena dalam pengambilan keputusan tentu harus didasari pertimbangan sejumlah pihak, sebelum sampai kepada gubernur untuk ditandatangani.

"Nah, di Pemprov DKI ini tentu yang harus dilihat bagaimana prosedurnya, bagaimana mekanismenya dan siapa saja yang berada di jalur itu. Sampai akhirnya ditandatangani oleh Jokowi, tentu tidak mungkin langsung pengembang menemui Jokowi," tuturnya.

Efriza mengatakan bahwa Pemprov DKI tidak bisa lepas tangan begitu saja soal keterlibatannya dalam kasus ini. Karena bagaimanapun kasus masih terus ditindaklanjuti oleh penegak hukum.

"Pemprov tidak bisa lepas tangan dengan menyatakan bahwa kasus ini adalah kasus lama di zamannya Joko Widodo. Karena bagaimanapun kasus ini masih berlarut, artinya masih dilibatkan dan ikut terlibat," jelasnya.

Efriza pun menyarankan kepada pihak yang dirugikan agar konsisten menempuh jalur hukum. Terlebih ketika sudah ditindaklanjuti oleh Komisi Yudisial yang saat ini sedang memeriksa hakim-hakim dalam persidangan kasus tersebut.

"Kalau KY sudah memproses itu jangan mundur. Mereka harus terus maju untuk menyelesaikan itu," pungkasnya.

Diketahui, kasus ini bermula ketika Indri Gautama yang mengaku sebagai pemegang saham sekaligus Komisaris Utama PT Kemuliaan Mega Perkasa (KMP) menawarkan unit Lantai 7 dan 8 dengan peruntukan kantor atau gedung komersil dengan dukungan buku panduan Fit Out dan buku Tata Tertib Jones Lang LaSelle pada 2011 lalu, kepada PT Brahma Adhiwidia.

Kemudian, PT Brahma Adhiwidia membeli bangunan seluas 2.000 meter persegi itu seharga Rp34,661,426,800, pada November 2011 dari pihak pengembang, yakni PT KMP. PT Brahma Adhiwidia melakukan pembayaran pertama sebesar dua miliar rupiah yang ditransfer ke Gereja Generasi Apostolik milik Indri Gautama. Sedangkan sisa angsurannya sampai dengan lunas ke rekening PT KMP.

Selanjutnya PT KMP pada 14 Januari 2013 mengajukan Revisi RTLB dan IMB menjadi Sarana Pendidikan dengan merujuk pada Permohonan Izin Sekolah tertanggal 7 Desember 2010 dengan Surat No. 003/KMP/2013 yang disetujui Gubernur DKI saat itu, Joko Widodo (Jokowi).

Lalu, Indri Gautama membuat Surat Pernyataan yang menyatakan mewakili pemilik dari lantai 6,7,8,9,10,11 Lumina Tower untuk merubah peruntukan menjadi sarana pendidikan, padahal lantai 7 dan 8 jelas-jelas milik PT Brahma Adhiwidia.

Atas itu, PT KMP diadukan ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan penipuan, penggelapan dan memberikan keterangan palsu. Sejumlah Pasal disangkakan diantaranya pasal 263, 266, 372, 378 dengan Laporan Polisi No.LP/557/V/2017/Bareskrim dengan terlapor Indri Gautama (yang mengaku sebagai pemegang saham sekaligus Komisaris Utama KMP) dan Yusuf Valent (Direktur Utama Kemuliaan Mega Perkasa).

Indri Gautama dan Yusuf Valent juga diduga berbohong ke Gubernur DKI Jokowi, dengan mengaku mendapatkan izin dari pemilik dan merubah peruntukan aset orang lain menjadi sekolah, hingga Gubernur DKI mengeluarkan izin prinsip perubahan peruntukan menjadi sekolah milik Indri Gautama.

Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo