JAKARTA - Majelis Hakim Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis nihil terhadap Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat. Padahal, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menuntut hukuman mati. Perbedaan jauh antara tuntutan dan vonis menunjukkan hakim dan jaksa sama-sama ngawur.
Hakim beralasan, vonis nihil ini dijatuhkan karena Heru sudah mendapat hukuman maksimal dalam kasus sebelumnya. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heru Hidayat oleh karena itu dengan pidana nihil," ujar Ketua Majelis Hakim, IG Eko Purwanto, saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (18/1/2022).
Heru juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp12,6 triliun. Hakim menyatakan Heru tidak bisa dijatuhkan pidana lain karena sudah mendapat hukuman maksimal (seumur hidup) dalam perkara lain.
"Berdasarkan pertimbangan tersebut meski bersalah tapi karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup maka pidana yang dijatuhi dalam perkara a quo adalah nihil," ujarnya.
Heru melakukan kejahatan bersama-sama dengan Direktur Utama ASABRI periode 2008-2016, Mayjen (Purn) Adam Rahmat Damiri, dan Direktur Utama PT ASABRI periode 2016-2020, Letjen (Purn) Sonny Widjaja.
Kemudian Kepala Divisi Keuangan dan Investasi PT ASABRI periode 2012-2015, Bachtiar Effendi, Direktur Investasi dan Keuangan PT ASABRI periode 2013-2019, Hari Setianto, dan Presiden Direktur PT Prima Jaringan, Lukman Purnomosidi.
Selanjutnya, Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relations, Jimmy Sutopo dan Komisaris PT Hanson International Tbk, Benny Tjokrosaputro.
Dalam perkara ini, Adam divonis 20 tahun penjara, denda Rp800 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp17,9 miliar. Sonny divonis 20 tahun penjara, denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp64,5 miliar; Bachtiar divonis 15 tahun penjara, denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp453,7 juta.
Sementara Hari Setianto divonis 15 tahun penjara, denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp378,8 juta; Lukman divonis 10 tahun penjara, denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp715 miliar.
Selanjutnya, Jimmy Sutopo divonis 13 tahun penjara, denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp314,868 miliar. Teruntuk Benny, sidang masih berjalan di tahap pemeriksaan saksi-saksi dari penuntut umum.
Hakim Anggota, Ali Muhtarom, menyampaikan tiga alasan majelis hakim tidak mengabulkan tuntutan hukuman mati dari jaksa.
Pertama, jaksa melakukan tuntutan melampaui surat dakwaan. Jaksa mendakwa Heru dengan Pasal 2 Ayat (1) UU 30/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dalam UU 20/2001. Namun, jaksa menuntut hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) dalam UU yang sama.
Kedua, jaksa dinilai tak bisa membuktikan bahwa Heru melakukan tindak pidana korupsi sesuai ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor yang memungkinkan dia harus dihukum mati.
"Berdasarkan fakta, terdakwa melakukan tindak pidana korupsi pada saat situasi negara aman, dan tidak terbukti melakukan pengulangan tindak pidana korupsi," terang Ali.
Ketiga, lanjut Ali, majelis hakim berpandangan bahwa pemberian hukuman mati yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor bersifat fakultatif atau tidak diwajibkan.
Menanggapi vonis, Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan, pihaknya akan mengajukan Banding terhadap vonis nihil yang diterima terdakwa Heru Hidayat.
"Rasa keadilan yang ada di masyarakat sedikit terusik dan yang kami lakukan, saya telah memerintahkan Jampidsus tidak ada kata lain selain banding," terangnya dalam konferensi pers, Rabu (19/1/2022).
Patut Dieksaminasi
Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad, menegaskan, putusan nihil pada Heru sangat aneh jika dilihat dari aspek rasa keadilan masyarakat. Ia juga menyebut, putusan tersebut mencederai nalar hukum.
"Putusan ini jauh dari tuntutan pidana dari penuntut umum dan menciderai nalar hukum. Karena orang yang merugikan negara dengan sangat banyak malah tidak diberi pidana penjara," terang Suparji kepada Info Indonesia.
Ia juga menjelaskan, putusan tersebut memang harus dihormati namun patut dikritisi. Salah satu yang perlu dieksaminasi adalah pertimbangan hakim yang berkutat pada tidak dimasukkannya Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam surat dakwaan, yang kemudian menjadi dasar tidak diberinya sanksi pidana.
Menurut dia, hakim terkesan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural namun bukan keadilan substantif yang diharapkan olah masyarakat luas. Hakim seharusnya progresif untuk menemukan hukumnya bukan menyerah pada sifat prosedural hukum dengan menafikan rasa keadilan masyarakat.
"Dapat dibayangkan Heru Hidayat dihukum seumur hidup dalam perkara tipikor Asuransi Jiwasraya dengan kerugian negara yang timbul sebesar Rp16,7 triliun. Akan tetapi tanpa menjatuhkan hukuman pidana kepada Heru Hidayat dalam kasus Asabri padahal kerugian yang timbul lebih besar yaitu Rp22,7 triliun," kata dia.
Suparji juga menilai, hakim terkesan tidak melihat akibat yang mungkin terjadi apabila Heru Hidayat menggunakan upaya hukum peninjauan kembali atas putusan perkara tipikor Asuransi Jiwasraya (AJS) di mana Heru dijatuhi hukuman seumur hidup.
Jika putusan peninjauan kembali tersebut, umpamanya, memutuskan hukuman pidana penjara 10 tahun atau 15 tahun, artinya pengadilan telah memutuskan dua perkara tipikor AJS dan Asabri dengan total kerugian keuangan negara sekitar Rp39 Triilun dengan hukuman pidana yang teramat ringan.
Ia mendukung sikap JPU yang langsung menyatakan banding tanpa mengurangi penghormatan atas putusan hakim.
"Kita berharap putusan banding nantinya hakim akan progresif dan mengutamakan keadilan substantif untuk mengobati rasa keadilan masyarakat yang terluka atas putusan tingkat pertama," ujarnya.
Jika menilik ketentuan pasal 193 ayat 1 KUHAP, apabila hakim menyatakan terdakwa bersalah maka terdakwa dijatuhi pidana. Putusan a quo nyatakan perbuatan terdakwa terbukti mestinya dipidana bukan nihil. Sesuai Pasal 240 KUHAP, putusan itu keliru sehingga jaksa meski melakukan banding.
Menurut dia, putusan mati untuk Heru sebenarnya sudah paling proporsional dan sesuai tuntutan keadilan mengingat perbuatan terdakwa sangat rugikan negara, masyarakat atau nasabah, dan berulang. Seandainya hakim tidak sependapat dengan tuntutan JPU, mestinya hukuman bersyarat lebih memenuhi ketentuan hukum acara dengan tetap jatuhi hukuman.
"Bersyarat maksudnya, dihukum seumur hidup dengan syarat tidak perlu dijalani apabila putusan sebelumnya (AJS) tidak ada pengurangan hukuman. Bila ini ditempuh merupakan bentuk progresivitas putusan hakim," jelasnya.
Tidak Berkualitas
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra, menilai, putusan majelis hakim dalam kasus Heru Hidayat adalah fakta empirik penegakan hukum yang tidak berkualitas.
Disampaikan Azmi, hakim keliru dalam menerapkan hukum dan tidak berusaha keras melakukan terobosan hukum. Padahal, kata dia, pertimbangan hukum hakim jelas telah memuat fakta hukum, keadaan, dan alat pembuktian yang terungkap di persidangan.
Dirinya mengatakan, dalam persidangan hakim sendiri mengakui perbuatan yang dilakukan terdakwa terbukti. Semestinya, perbuatan terdakwa menjadi sebuah keadaan yang memberatkan hukuman, bukan malah memberi amar putusan nihil.
"Ini jelas penyimpangan," kata Azmi.
Dengan putusan nihil, dirinya menyebut hakim membatasi jangkauan dan menyempitkan pemaknaan hukum, tidak menyentuh dampak bahaya korupsi.
Semestinya, kata Dosen Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti itu, hakim melihat korupsi yang dilakukan terdakwa sebagai pelanggaran hak asasi manusia, dan korupsi sebagai tindak pidana khusus, yang berbeda penerapannya dengan pidana umum.
Apalagi, mengingat korupsi di Indonesia sudah menjadi keadaan yang darurat. Jadi, harus diberantas. Dengan kenyataan itu, kata dia, memperbolehkan melakukan terobosan, guna menegakkan hukum itu sendiri dan rasa keadilan.
Dirinya menjelaskan, dalam hukum pidana sendiri melihat unsur kesalahan berdasarkan kasus per kasus (animus and se one just ducit). Jadi, kata Azmi, dalam hal ini semestinya ada ruang dah dasar hukum bagi hakim untuk melakukan terobosan hukum.
Semestinya pula, lanjut Azmi, hakim menempatkan secara lebih besar kepentingan negara dan masyarakat dalam hal ini. Bayangkan, kata dia, dalam kasus ini kerugian uang negara mencapai puluhan triliyun rupiah. Atas itu, semestinya perbuatan terdakwa dapat dijadikan dasar pemberatan hukuman dan layak dihukum mati.
"Dengan putusan nihil, maka dirinya melihat akan berdampak pada kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum di Tanah Air tercinta," terangnya.
Artikel ini juga ditayangkan di Koran Info Indonesia.
Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo
Komentar