SEJAK beberapa dekade lalu, para peneliti telah mengetahui bahwa krisis iklim dapat berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) menyatakan bahwa, perubahan iklim adalah salah satu risiko kesehatan terbesar di abad kedua puluh satu.
Krisis iklim menelan korban secara langsung serta meningkatkan transmisi dan penyebaran penyakit menular. Selain itu, juga mengancam faktor penentu kesehatan lingkungan seperti udara bersih, air minum yang aman, pasokan makanan bergizi, dan tempat berlindung yang nyaman.
Adalah penting untuk membahas secara terbuka ancaman krisis iklim terhadap kesehatan karena dapat membantu masyarakat dalam mempersiapkan diri menghadapi tantangan ini. Karenanya organisasi nirlaba Climate Reality menyiapkan sebuah panduan untuk umum tentang apa yang perlu diketahui mengenai krisis iklim dan kesehatan, berjudul "The Climate Crisis and Your Health: What You Need to Know."
Pada dasarnya, polusi karbon dari perubahan tata guna lahan dan penggunaan bahan bakar fosil dapat mengganggu sistem iklim. Dengan semakin banyaknya polusi karbon di udara, maka semakin banyak pula energi matahari yang terperangkap, membuat Bumi semakin panas. Kenaikan suhu global ini mengusik kaidah alam, sehingga peristiwa seperti kekeringan parah, banjir, kebakaran hutan, dan badai besar makin bertambah. Ini diperparah dengan dampak besar lainnya yang memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Menurut Physicians for Social Responsibility, mereka yang paling rentan terhadap peningkatan suhu adalah kaum miskin dan tunawisma, para lansia, bayi dan anak-anak, mereka yang sebelumnya sudah ada kondisi medis, terutama masalah jantung dan pernapasan, serta penderita gangguan mental.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, di Indonesia yang beriklim tropis, musim kemarau berkepanjangan mendorong perkembangan bakteri, virus, jamur dan parasit. Beragam mikroorganisme tersebut berkembang pesat dan dapat bertahan hidup lebih lama, menyebabkan penyakit semakin banyak terjadi.
Cuaca ekstrem seperti hujan lebat yang terus-menerus menyebabkan banjir yang mengotori lingkungan, akibatnya kasus penyakit seperti malaria dan demam berdarah semakin meningkat. Daya tahan tubuh manusia pun menjadi lemah sehingga mudah terserang penyakit. Pentingnya kaitan antara krisis iklim dan kesehatan masyarakat ini disikapi oleh Kementerian Kesehatan yang menghasilkan kebijakan dan pedoman terkait, antara lain Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim Bidang Kesehatan; Pedoman Desa Sehat Iklim; serta Kurikulum dan Modul Pelatihan untuk Pelatih Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan.
Pemutakhiran informasi dampak krisis iklim terhadap kesehatan disampaikan dalam laporan The Lancet Countdown 2019, sebagai temuan dan konsensus dari 35 institusi akademik terkemuka dan badan-badan PBB. Kesimpulannya tanpa tindakan segera untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca, perubahan iklim akan berdampak buruk pada setiap tahap kehidupan manusia, dari sejak dalam kandungan sampai lanjut usia. Merebaknya Coronavirus menyebabkan perhatian dunia tertuju ke wabah ini dan media pun mengkaji kaitannya dengan krisis iklim. Radio Publik Virginia di Amerika Serikat mengutip pendapat Luis Escobar ahli ekologi penyakit di Virginia Tech, bahwa perubahan iklim berdampak pada pergerakan virus. Penebangan hutan, peningkatan urbanisasi dan pertanian, membuat manusia lebih dekat dengan virus-virus alami yang ada pada satwa liar.
Sedangkan menurut majalah Time belum ada bukti perubahan iklim memicu Coronavirus untuk berpindah dari hewan ke manusia, atau planet yang lebih hangat telah membuat virus ini menyebar. Time lebih membahas kenaikan suhu bumi membuat sistem kekebalan alami manusia menjadi kurang efektif.
WHO dan The Lancet sama-sama menekankan urgensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai cara untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Secara global hal ini dapat dicapai dengan melaksanakan Persetujuan Paris tentang Perubahan Iklim. Tujuan utama Persetujuan Paris adalah menjaga peningkatan suhu global di abad ini agar tidak melampaui 2 derajat Celcius dibanding sebelum Revolusi Industri dengan ambisi untuk tidak melebihi 1,5 derajat Celsius.
Amanda Katili Niode
(Direktur Climate Reality Indonesia)
Artikel ini juga ditayangkan di koran Info Indonesia.
Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo
Komentar