POLHUKAM

Kemerdekaan Masih Setengah Tiang

Selamat Hari Pers Nasional

Ilustrasi. (Net)
Ilustrasi. (Net)


JAKARTA - Era disrupsi membawa lebih banyak tekanan sekaligus peluang baru. Industri pers nasional dituntut untuk beradaptasi dengan cepat, mempelajari kompetensi baru dan inovatif. Di saat yang sama, isu klasik kemerdekaan pers masih menjadi persoalan fundamental yang menggantung. Ia tetap menjadi sorotan utama setiap kali Hari Pers Nasional dirayakan.

Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry CH Bangun mengakui, pemerintah saat ini memang tidak diskriminatif dalam memberi dukungan terhadap industri pers nasional. Pemerintah bermaksud agar pers nasional tetap bertahan dan mampu menunjukkan eksistensinya dalam menghadapi perubahan, terutama di masa pandemi.

"Support ke industri pers sama dengan support untuk bidang lain, yang tujuannya agar semua sektor ekonomi dapat bertahan di masa pandemi," kata Hendry Bangun kepada Info Indonesia, Selasa (8/2/2022).

Meskipun pemerintah tidak secara langsung menangani isu-isu pers, tetapi terdapat beberapa bantuan berarti yang dirasakan oleh perusahan-perusahan media Tanah Air. Misalnya, penundaan pajak perusahaan hingga kuota iklan layanan pemerintah dari anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Sementara untuk menjamin kebebasan pers, pemerintah sudah membentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) yang melibatkan Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam); Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), serta Polri. Pada intinya, SKB tersebut dapat melindungi jurnalis atau karya-karya jurnalistik yang dihasilkan oleh suatu media.


"Dewan Pers mendapat kewenangan untuk menentukan apakah sebuah berita yang diadukan produk jurnalistik atau bukan. Artinya, di sini pemerintah mengedepankan UU Pers bila ada pengaduan masyarakat terhadap pers," ujarnya.

Dia mengingatkan, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bukanlah senjata untuk memperkarakan jurnalis. Sebab, UU tersebut sudah memiliki tafsir sendiri yang menutup potensi kriminalisasi atas karya jurnalistik. Meski demikian, pemerintahan Jokowi masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus segera ditangani dalam hal menjunjung tinggi kebebasan pers di Tanah Air. Demikian dikatakan oleh Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito.

Dia menyebut contoh kasus belum maksimalnya akses internet di Papua. Minimnya infrastruktur internet di sana tentu menghambat kerja para jurnalis yang meliput di wilayah paling timur Indonesia itu. Tidak hanya itu, Sasmito menganggap pemerintah masih menutup keran kebebasan pers di Papua. Masih terdapat kebijakan pemerintah yang melarang masuknya jurnalis asing di wilayah rawan konflik itu. Menurutnya, kebijakan tersebut bertentangan dengan janji politik Presiden Jokowi.

"Catatan pemerintah sendiri, di tahun 2006 sampai 2020-an itu ada 14 jurnalis asing yang ditolak ke Papua. Belum lagi ada stigma terhadap teman-teman jurnalis di Papua dan sebagainya. Ini kan menjadi persoalan," kata Sasmito.

Masih menurut Sasmito, kebebasan pers di era Jokowi cukup buruk karena ada banyak jurnalis yang dikriminalisasi memakai UU ITE. Ia menyebut beberapa wartawan seperti Muhammad Arsul, Diananta Sumedi, dan Muhammad Sadli Saleh harus menjalani masa kurungan meskipun tulisan mereka sudah ditetapkan sebagai karya jurnalistik oleh Dewan Pers.

Dalam pandangannya, SKB Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE yang diteken Menkominfo, Kapolri, dan Jaksa Agung, tidak diterapkan maksimal di lapangan. Memenjarakan jurnalis dengan UU ITE masih kerap terjadi hingga saat ini.

Sasmito mendesak kepolisian turut berlaku adil dalam melindungi kalangan pers. Kasus-kasus kekerasan polisi terhadap wartawan mesti cepat ditindaklanjuti. Sasmito juga turut berkomentar soal perkembangan industri media. Menurutnya, pemerintah punya banyak cara untuk melindungi pers nasional agar kualitas jurnalismenya lebih baik, dan bisa bertahan di tengah pandemi serta disrupsi digital.

"Banyak hal yang bisa dilakukan. Misalnya menghapus pajak langganan berita buat teman-teman media dan sebagainya, dan itu sebenarnya akan lebih baik kalau ada riset yang dilakukan pemerintah di bidang jurnalisme. Sayangnya, risetnya masih sangat kecil,” ujar Sasmito.

Apa-apa Pidana
Dari pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat, pekerja media masih kerap mengalami kriminalisasi di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Bahkan, sampai masuk ranah gugatan perdata. Advocat dan Researcher LBH Pers, Ahmad Fathanah, mengatakan, regulasi pemerintah yang kerap dijadikan alat untuk mengkriminalisasi pers adalah UU ITE. 

"Orang-orang yang tidak paham konteks hukum pers langsung mengatur dengan ranah pidana. Padahal (sengketa pemberitaan) ada mekanismenya sendiri," kata Ahmad.

Penggunaan UU ITE untuk mengkriminalisasi wartawan jelas-jelas mengesampingkan UU Pers yang bersifat lex specialis. Dia ingatkan bahwa aparat penegak hukum memiliki nota kesepahaman dengan Dewan Pers terkait sengketa pers. Untuk menjaga kebebasan pers, pihak-pihak yang terlibat sengketa pers harus mengedepankan UU Pers dalam proses penyelesaian masalahnya.

"Sebeneranya kepolisian punya kewenangan mengajurkan pelapor dibawa ke Dewan Pers," ujarnya.

LBH pun menilai pemerintah tidak memberikan perlindungan maksimal bagi wartawan. Terlihat di masa pandemi COVID-19, pemerintah dan DPR malah mengesahkan UU Omnibus Law. Padahal, UU tersebut berpotensi merugikan para pekerja termasuk wartawan. LBH Pers meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan para wartawan di masa pademi. Misalnya, Jokowi membuat suatu kebijakan yang terkait upah wartawan. 

"Seharusnya merujuk pada UMP. UMP itu kan upah standar bagi semua sektor jenis pekerjaan atau Jokowi membuat suatu kebijakan khusus terkait upah bagi pekerja pers," ujar Ahmad.

Ada pula catatan positif dari LBH Pers. Belakangan, pemerintah kerap melibatkan insan pers di setiap agenda pembangunan nasional. Hal ini menjadi jalan awal untuk menuju kebebasan pers, sehingga indeks demokrasi Indonesia kembali membaik.

"Soal mendahulukan pembangunan infrastruktur dan ekonomi ketimbang menjaga aspek kebebasan sipil termasuk kebebasan pers, saya pikir tidak ya. Karena pembangunan itu untuk masyarakat luas juga. Yang bisa kita lihat adalah bagaimana pers dilibatkan dalam
pembangunan nasional," ujarnya.

Sebatas Komitmen
Plt Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Athiqah Nur Alami berpendapat, selama hampir dua periode menjabat sebagai presiden, sebenarnya Jokowi telah menjamin kebebasan pers. Hal itu ditandai dengan nota kesepahaman (MoU) yang dilakukan Dewan Pers bersama Polri tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers pada tahun 2017.

Namun, MoU itu tercoreng dengan masih adanya kriminalisasi terhadap wartawan. Kasus kriminalisasi di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan menjadi bukti nyata. Aparat penegak hukum yang berada di daerah tidak memahami secara mendalam makna dari UU Pers.

"Untuk itu, komitmen pemerintah ke depan yang menjamin kebebasan pers perlu dibuktikan, agar pekerja pers tetap menjaga independensi dan objektivitas," Atiqah.

Menurut Atiqah, kebebasan pers sangat berkaitan erat dengan demokrasi di Indonesia. Pers merupakan pilar keempat dalam demokrasi. Bahkan, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pers memiliki peran yang sangat besar dalam mendorong partisipasi masyarakat dan menjaga kondisi bangsa tetap kondusif. Merujuk pada survei yang dilakukan Reporters Without Borders (RSF), indeks kebebasan pers Indonesia naik ke posisi 119 pada 2020 dari posisi 124 pada tahun sebelumnya. Sementara itu, survei yang dilakukan Freedom Institute dan V-Dem Institute tahun 2020 juga menunjukkan indeks kebebasan pers di Indonesia meningkat.

Atiqah mengatakan, kebebasan pers sangat penting untuk kemajuan suatu bangsa. Kebebasan pers juga menjadi indikator penting dalam menilai demokrasi suatu negara.

"Kebebasan pers menjadi salah satu indikator dalam menilai kondisi demokrasi global, baik yang menunjukkan gejala stagnasi atau kemunduran," katanya.

Sedangkan peneliti politik lainnya dari BRIN, Wasisto Raharjo Jati, menilai, kebebasan pers di periode kedua Presiden Jokowi mengalami sedikit penurunan. Sebetulnya, perbedaan sudut pandang dalam pemberitaan pers adalah hal yang dinanti. Tapi kini, perbedaan sudut pandang terutama dari pihak yang kritis terhadap pemerintah justru mengalami perlawanan. Untuk mencegah resistensi itu, fungsi Dewan Pers sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam penyelesaian masalah karya jurnalistik harus diperkuat.

"Hal ini bertujuan untuk melindungi profesi jurnalis dari adanya ancaman kriminalisasi oleh pihak lain yang kurang berkenan dengan pemberitaan media," tuturnya.

Dikuasai Oligarki
Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menilai, saat ini Indonesia sedang mengalami kemunduran demokrasi. Salah satu penanda penting dari kemunduran demokrasi ini adalah tergerusnya kebebasan sipil, termasuk di antaranya kebebasan pers.

Kata Wijayanto, tergerusnya kebebasan pers ditandai oleh beberapa hal. Salah satu indikator serius tentang perlindungan dan kebebasan pers, dalam hal ini aktor yang paling penting ialah jurnalis. Belakangan banyak jurnalis yang mengalami kriminalisasi karena produk pemberitaannya. Bahkan sampai dituntut ke meja hijau menggunakan UU ITE. Akhir-akhir ini juga marak kasus peretasan website yang dipicu ketidaksukaan terhadap artikel jurnalistik. 

"Jenis lainnya ialah teror siber yang mengarah pada jurnalis. Misalnya akun media sosial jurnalis diretas gara-gara produk pemberitaannya dianggap tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu," kata Wijayanto.

Selain itu, terdapat halangan kebebasan pers dalam bentuk yang tidak kasat mata, yakni ekonomi sosial dan politik media. Contoh paling jelas adalah media-media besar yang dimiliki oleh segelintir konglomerat. Mereka berasal dari kalangan profesional atau pemimpin partai politik. Konglomerat yang berasal dari kalangan profesional ini rawan didekati oleh kekuasaan atau sebaliknya, sehingga pemberitaan di medianya menjadi lunak apabila berkaitan dengan kinerja pemerintahan.

"Jadi, konglomerasi media oleh orang-orang yang ada di parpol dan menjadi bagian kekuasaan hari ini tentu saja itu melemahkan kebebasan pers. Ditambah lagi mereka atau media yang tadinya oposisi kemudian merapat kepada kekuasaan. Kemudian semua ditarik untuk mendukung kekuasaan, baik menggunakan cara halus ataupun tidak," terang Wijayanto.

Dia menegaskan bahwa salah satu penyebab tergerusnya kebebasan sipil adalah oligarki atau persengkokolan antara mereka yang kaya dan berkuasa untuk mempertahankan kekayaan dan kekuasaannya.

"Di Indonesia, media menjadi salah satu referensi oligarki yang paling konkret. Karena kita bisa melihat siapa pemilik medianya, dari partai mana, apakah dekat dengan kekuasaan apa tidak, lalu bagaimana hubungan mereka dengan kekuasaan. Ini terlihat jelas," tegas dia.

Dia setuju dengan anggapan yang menyebut pemerintahan Presiden Jokowi selama dua periode sangat fokus pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Masalah laten seperti hak asasi manusia (HAM) hingga kebebasan pers tidak masuk prioritas penanganan pemerintah.

"Pengabaian itu berarti tidak memberikan dukungan terhadap kebebasan pers. Mulai dari mendukung jurnalisme itu sendiri ataupun industri pers secara umum," ujarnya.

Artikel ini juga dimuat di Koran Info Indonesia.

Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo