POLHUKAM

Syarat Dilonggarkan Malah Bikin Deg-degan

Tunggu Dua Minggu Sebelum Benar-benar Plong

Ilustrasi. (Net)
Ilustrasi. (Net)


JAKARTA - Keputusan pemerintah menghapus syarat tes PCR dan Antigen bagi pelaku perjalanan domestik disambut kegamangan. Para pelaku usaha sektor pariwisata tentu yang paling gembira. 

Namun, kalangan pakar kesehatan menekankan kehati-hatian. Data harian Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 kemarin (Selasa, 8/3/2022) menunjukkan total kasus aktif mencapai 422.892 kasus. Sebanyak 25.743 orang dinyatakan suspek. Kasus harian termasuk masih tinggi yaitu 30.148 pasien, 55.128 orang sembuh, dan 401 pasien meninggal dunia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang juga Koordinator PPKM Wilayah Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan pembebasan tes dengan metode colok hidung itu berlaku untuk semua moda transportasi. Luhut bilang, kebijakan ini diberlakukan dalam rangka transisi menuju kehidupan normal.

"Orang yang sudah melakukan vaksinasi dosis kedua dan lengkap sudah tidak perlu menunjukkan bukti tes antigen dan PCR negatif," kata Luhut dalam keterangan pers evaluasi PPKM secara virtual, Senin lalu.

Kemarin, Kementerian Kesehatan menyatakan penduduk Indonesia yang telah divaksinasi dosis ketiga (penguat) sudah mencapai 12.847.312 jiwa atau mengalami penambahan sebesar 360.196 orang. Sebanyak 148.587.718 orang telah divaksinasi dosis kedua, sedangkan vaksinasi dosis pertama mencapai 192.263.704 orang. Pemerintah menargetkan sasaran vaksinasi secara nasional mencapai 208.265.720 jiwa. 


Terkait pelonggaran syarat lainnya, pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) dengan tujuan Bali telah dibebaskan dari karantina. Namun, PPLN yang datang harus menunjukkan tanda bukti pemesanan (booking) hotel yang sudah dibayar minimal 4 hari atau menunjukkan bukti domisili di Bali bagi WNI. PPLN yang masuk harus sudah menerima vaksinasi lengkap atau sudah menerima booster. PPLN juga harus melakukan entry PCR test dan menunggu di kamar hotel hingga hasil negatif keluar. Setelah itu, bisa bebas beraktivitas dengan tetap menjalankan protokol kesehatan.

"PPLN melakukan PCR tes di hari ketiga di hotel masing-masing. PPLN telah atau tetap harus memiliki asuransi kesehatan yang menjamin COVID-19 sesuai ketentuan. Event internasional yang dilakukan di Bali semasa uji coba menerapkan protokol kesehatan yang ketat sesuai standar G20," jelas dia.

Ia juga menyebutkan, pemerintah juga menerapkan visa on the arrival untuk 23 negara, yaitu ASEAN, Australia, Amerika, Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Jepang, Qatar, Korea Selatan, Kanada, Italia, Selandia Baru, Turki, dan Uni Emirat Arab. Satgas Penanganan COVID-19 akan memantau kesehatan pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) yang sudah menerima dosis lengkap atau dosis ketiga (booster) selama 1x24 jam sejak tiba di Indonesia.

"Pemantauan kesehatan selama 1x24 jam bagi PPLN yang telah menerima vaksin dosis kedua atau dosis ketiga," kata Kepala Sub Bidang Dukungan Kesehatan Darurat Satgas Penanganan COVID-19, Alexander K Ginting, di Jakarta, Selasa.

Ketentuan itu tertuang dalam Surat Edaran Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Nomor 12 /2022 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Luar Negeri Pada Masa Pandemi COVID-19 yang terbit kemarin. Dalam edaran terbaru itu PPLN yang tiba di Indonesia diwajibkan tes ulang RT-PCR serta menjalani karantina atau pemantauan kesehatan terpusat. Sedangkan masa karantina selama 7x24 jam berlaku bagi PPLN yang baru menerima vaksin dosis pertama atau belum menerima dosis lengkap.

Monitor Ketat
Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan kebijakan menghapus syarat tes antigen dan PCR untuk perjalanan domestik bukan untuk mempercepat penetapan status pandemi COVID-19 menjadi endemi.

Tenaga Ahli Utama KSP, Abraham Wirotomo, mengatakan relaksasi syarat perjalanan tersebut diambil karena situasi pandemi COVID-19 saat ini semakin terkendali.

"Data-data perkembangan kasus, keterisian tempat tidur di rumah sakit, dan angka reproduksi efektif COVID-19, semua menunjukkan pandemi semakin berhasil terkendali dengan baik. Ini menjadi landasan mengapa level PPKM di beberapa daerah diturunkan dan termasuk relaksasi testing untuk pelaku perjalanan," kata Abraham.

Menurut dia, pemerintah semakin spesifik dalam memeriksa sebaran COVID-19, yaitu dengan menggunakan pendekatan surveillance aktif, baik melalui penemuan kasus atau Active Case Finding (ACF), maupun pengujian epidemiologi.

Ketua Satgas COVID-19 dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban, meminta pemerintah memastikan pengawasan di lapangan benar-benar ketat. Bila terdapat pelanggaran yang berpotensi menimbulkan lonjakan kasus, relaksasi iniharus ditinjau kembali.

"Saya setuju kebijakan ini. Namun harus dengan monitoring," kata Zubairi dikutip dari akun Twitter pribadinya kemarin.

Menurut dia, pemerintah tidak boleh langsung meniru negara lain ihwal pelonggaran mobilitas ataupun menghilangkan syarat tes COVID-19. Pasalnya, tingkat vaksinasi di Indonesia masih rendah. Vaksinasi warga di atas usia 60 tahun pun belum mencapai 70 persen.

"Jika dalam dua minggu aman, kasus menurun, dan tidak menimbulkan klaster baru yang besar, kenapa tidak kita masuk ke endemi," terangnya.

Sementara itu, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, mengingatkan agar pemerintah tetap mengacu pada masukan para pakar terkait perkembangan riwayat alamiah penyakit, teknis penyaringan di lapangan, hingga perkembangan situasi COVID-19.

"Kami juga berharap pemerintah dalam menerapkan kebijakan tersebut mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam memangkas masa karantina bagi perjalanan umrah dan PPLN," ungkap Bamsoet, kemarin.

Bamsoet meminta pemerintah bersama otoritas terkait tetap memperketat pintu masuk ke dalam negeri seiring pelonggaran kebijakan masa karantina PPLN.

"Serta tetap memastikan para pelaku perjalanan luar negeri sudah melalui pemeriksaan yang ketat di setiap pintu masuk kedatangan, serta melaksanakan peraturan terkait karantina dan protokol kesehatan yang ditetapkan Pemerintah," terangnya

Tiga Kriteria
Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman, berpendapat, ada tiga aspek kriteria yang mesti dipenuhi sebelum penerapan relaksasi syarat perjalanan domestik. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa cakupan vaksinasi secara nasional sudah memadai. Disebut memadai yakni dapat merespons varian Omicron plus dan potensi varian-varian lainnya ke depan. Selain itu, 90 persen masyarakat sudah menerima dua dosis vaksin dan 50 persen sudah disuntuk dosis penguat.

"Jika vaksinasi berjalan dengan baik, bisa dibilang ideal untuk pemerintah mengeluarkan kebijakan pelonggaran mobilitas," kata Dicky kepada Info Indonesia.

Kedua, pemerintah harus memperhatikan indikator epidemiologi. Angka reproduksi virus harus di bawah 1 persen. Begitupun angka positivity rate wajib di bawah angka 1 persen. Faktanya, angka positivity rate harian Indonesia masih 9,93 persen.

Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa hunian rumah sakit benar-benar kosong. Kalaupun ada pasien COVID-19, jumlah keterisian tempat tidurnya di bawah 10 persen. Tak kalah penting, angka kematian harus di bawah 1 persen. Setidaknya, kasus kematian akibat COVID-19 di bawah 5 orang per satu juta penduduk atau 5 orang per 100 ribu penduduk di masa transisi saat ini.

Ketiga, pemerintah harus meningkatkan kesediaan masyarakat untuk disiplin protokol kesehatan. Selain kesadaran masyarakat, literasi yang diberikan pemerintah juga sangat berperan. Pemerintah juga harus menyiapkan aturan mekanisme pembiayaan untuk pasien yang dirawat di rumah sakit.

Dicky ingatkan, jika pemerintah menerapkan pelonggaran syarat perjalanan maka penguatan aspek lain termasuk surveilans harus dilakukan.

Artikel ini juga ditayangkan di Koran Info Indonesia.

Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo