JAKARTA – Di tengah perkembangan pesat teknologi informasi saat ini, peristiwa yang terjadi di suatu tempat dapat dengan mudah dan cepat tersebar ke belahan bumi lainnya. Begitu pun dengan perang yang dilancarkan Rusia ke Ukraina.
Pembaruan kabar mengenai situasi di Ukraina dengan cepat menyebar, terutama melalui media sosial.
Sayangnya, penyebaran informasi di media sosial tidak mudah untuk dikendalikan atau disaring serta diverifikasi kebenarannya, sehingga informasi salah atau hoaks dapat juga dengan mudah menyebar.
Sejumlah ahli baru-baru ini bahkan secara spesifik menyebut platform media sosial TikTok sebagai sumber informasi yang paling berkontribusi menyebarkan informasi yang salah mengenai perang di Ukraina. Hal itu lantaran jumlah penggunanya yang besar dan pemfilteran konten yang minimal.
Hal itu juga yang terungkap dalam penelusuran yang dilakukan wartawan dari tim disinformasi BBC, Shayan Sardarizadeh. Ia menelusuri campuran "halusinasi" antara informasi palsu dan menyesatkan tentang perang di Ukraina yang dibagikan di TikTok.
"Saya belum pernah melihat platform lain dengan begitu banyak konten palsu," jelasnya, seperti dimuat AFP.
"Kami telah melihat semuanya. Video dari konflik masa lalu didaur ulang, rekaman asli disajikan dengan cara yang menyesatkan, hal-hal yang jelas-jelas salah tetapi masih mendapatkan puluhan juta penayangan," sambungnya.
Ia mengatakan, hal yang paling mengganggu adalah streaming langsung palsu di mana pengguna berpura-pura berada di tanah di Ukraina, tetapi sebenarnya menggunakan rekaman dari konflik lain atau bahkan video game. Mereka kemudian meminta uang untuk mendukung "pelaporan" mereka.
"Jutaan orang mendengarkan dan menonton. Mereka bahkan menambahkan suara tembakan dan ledakan palsu," kata Sardarizadeh.
Sementara itu, Anastasiya Zhyrmont dari kelompok advokasi Access Now mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa perang datang sebagai kejutan.
"Konflik ini telah meningkat sejak 2014, dan masalah propaganda Kremlin dan informasi yang salah ini telah diangkat dengan TikTok jauh sebelum invasi," katanya kepada AFP, Rabu (6/4/2022).
"Mereka telah berjanji untuk menggandakan upaya mereka dan bermitra dengan pemeriksa konten, tetapi saya tidak yakin mereka menganggap serius kewajiban ini," tambahnya.
Zhyrmont mengatakan masalahnya mungkin terletak pada kurangnya moderator konten berbahasa Ukraina, sehingga lebih sulit bagi TikTok untuk menemukan informasi palsu.
Di sisi lain, pengamat lain menilai bahwa sifat dasar TikTok yang cenderung bermuatan sandiwara lucu daripada materi serius.
"Cara Anda mengonsumsi informasi di TikTok - menggulir dari satu video ke video lain dengan sangat cepat - berarti tidak ada konteks pada konten apa pun," kata Chine Labbe dari NewsGuard, yang melacak misinformasi online.
NewsGuard sendiri menjalankan eksperimen untuk melihat berapa lama waktu yang dibutuhkan pengguna baru untuk mulai menerima informasi palsu jika mereka terus menonton video tentang perang.
Jawabannya adalah 40 menit.
"Temuan NewsGuard menambah bukti bahwa kurangnya pelabelan dan moderasi konten TikTok yang efektif, ditambah dengan kemampuannya dalam mendorong pengguna ke konten yang membuat mereka tetap berada di aplikasi, telah menjadikan platform ini lahan subur untuk penyebaran disinformasi," terangnya.
Video Terkait:
Tiktoker Anifah Kritik Gaji Anggota DPRD DKI Jakarta 26 Miliar
Komentar