MARI kita lihat fakta mengerikan mengenai kekerasan terhadap anak di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan bahwa kekerasan terhadap anak meroket dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Data menunjukkan bahwa angka laporan kasus kekerasan terhadap anak meningkat dari 11.057 pada tahun 2019 menjadi 14.517 kasus pada 2021 atau meningkat 31,3 persen. Searah dengan itu, jumlah korban kekerasan anak juga meningkat sebesar 28,5 persen atau dari 12.285 pada 2019 menjadi 15.792 pada tahun 2021.
Bila diuraikan, laporan kekerasan terhadap anak didominasi kasus kekerasan seksual, yakni sebesar 45 persen. Sebagian besar kekerasan seksual terhadap anak justru terjadi di tempat di mana anak seharusnya mendapatkan perlindungan istimewa, yaitu di dalam rumah dan institusi pendidikan yang belakangan ini mulai terungkap kasusnya.
Merujuk data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dikumpulkan sepanjang tahun 2021, terdapat 18 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, dimana separuh lebih dilakukan oleh guru.
Kita mungkin masih ingat sejumlah kasus yang viral. Pertama, dua bocah perempuan di Padang, Sumatera Barat yang mengalami pemerkosaan dan pencabulan oleh keluarga dekat dan tetangga. Faktanya, kedua anak itu tidak mendapatkan haknya, yaitu hak menerima kasih sayang dan hak pendidikan.
Kedua, seorang remaja 14 tahun di Bandung yang dijadikan budak seks oleh pelaku yang terhimpit masalah ekonomi. Korban, yang diiming-imingi handphone, berakhir dengan trauma sangat berat, setelah sebelumnya dipaksa pelaku harus melayani sekitar 20-an pelanggan selama tujuh hari.
Ketiga, kekerasan seksual terhadap 13 santriwati pondok pesantren di Bandung yang dilakukan oleh Herry Wirawan, sang guru pesantren. KPAI menyebut, kasus tersebut bahkan telah berlangsung sejak tahun 2016 dan baru terungkap di akhir tahun 2021. Yang paling miris adalah sembilan bayi lahir akibat kekerasan tersebut.
Kasus yang terakhir itu, kian menambah panjang rentetan daftar kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama yang tergolong lebih tinggi dibanding lembaga pendidikan secara umum.
Sekali lagi, fakta kekerasan terhadap anak sangatlah menyakitkan. Secara global, end-violence.org membeberkan bahwa 1 dari 2 anak di dunia mengalami kekerasan setiap tahunnya. Setiap 7 menit, satu anak meninggal akibat kekerasan itu.
Adapun fakta dari Survei Pengalaman Hidup Anak dan Remaja menyebutkan bahwa 4 dari 100 anak laki-laki usia 13-17 tahun dan 8 dari 100 anak perempuan usia 13-17 tahun di perkotaan pernah mengalami kekerasan seksual. Sedangkan, 3 dari 100 anak laki-laki usia 13-17 tahun dan 8 dari 100 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidupnya.
Wujud kekerasan seksual dan wujud kekerasan yang lainnya terhadap anak akan mencapai jumlah yang bisa membuat kita gemetar ketika "lapisan bahwa gunung es" berani dilaporkan.
Melihat fakta-fakta di atas, yang membuat kita menggelengkan kepala, murka sekaligus was-was akan keberadaan masa depan anak-anak Indonesia, saya percaya itu dapat menjadi sebuah momentum, peluang historis dalam generasi kita untuk segera bersatu mengakhiri kekerasan terhadap anak.
Kita bersama-sama mendukung pemerintah melindungi anak-anak kita. Ketika kita berhasil, dimana hal tersebut memerlukan upaya kita bersama, kita akan berkontribusi mengubah arah pembangunan di Indonesia menjadi lebih baik.
Tapi pertanyaannya bagaimana? Apa wujud konkret yang bisa kita lakukan? Pertama dari pihak pemerintah, perlu komitmen politik tingkat tinggi untuk memerangi kekerasan terhadap anak. Menetapkan dan melaksanakan undang-undang. Mengeluarkan inisiatif, mengubah kebijakan dan memulai percakapan di ranah publik yang mulai meningkatkan kesadaran dalam perjalanan mengubah sikap dan menjadikan kekerasan apa pun pada anak-anak tidak lagi dapat diterima.
Dengan demikian, mengakui kekerasan terhadap anak-anak melibatkan banyak pihak dan perlu pendekatan yang sistemik. Butuh kerja sama di antara pemerintah, kelompok agama, sektor swasta, media, akademisi, organisasi masyarakat sipil dan lain-lainnya.
Tapi apakah kita dapat melakukan ini? Kita harus optimis bisa. Kita sudah punya payung hukum yang melindungi anak-anak dari tindak kekerasan, yaitu UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dan UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Kedua produk hukum tersebut, dan produk-produk hukum lainnya adalah bukti komitmen pemerintah dalam mengakhiri kekerasan, penganiayaan dan pengabaian terhadap anak sebelum tahun 2030. Bahkan, pada tanggal 15 Juli 2022 yang lalu, menjelang Hari Anak Nasional, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 101 Tahun 2022 Tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Stranas PKTA). Kekerasan terhadap anak merusak investasi yang diberikan pada mereka, yaitu dalam kesehatan dan pendidikan mereka.
Dampaknya bertahun-tahun, kadang dampak dan penyebarannya bersifat seumur hidup dan antargenerasi. Tapi ini bukan hanya tentang komitmen pemerintah di tingkat tinggi. Komitmen pemerintah memang sangat berarti. Tapi yang lebih fundamental adalah kita sebagai masyarakat yang selalu menyoroti dan memviralkan perilaku yang tidak bisa lagi diterima dan yang sudah terlalu lama ditoleransi.
Dengan bantuan kemajuan teknologi saat ini, kita dapat bersuara dan memakai suara itu, bukan hanya untuk mendukung sesuatu di sekitar kita, atau yang kita tahu perlu dibenahi, tapi untuk menjadi bagian dari solusi untuk hal-hal yang sebenarnya dapat melindungi dan memengaruhi masa depan anak-anak. Sebab, masa depan anak-anak ini sangatlah berarti.
Akhir kata, mengakhiri kekerasan terhadap anak adalah investasi yang tak ternilai. Apa yang akan terjadi jika kita mengakhiri kekerasan terhadap anak? Bayangkan sebentar saja. Pertama, ingat setiap anak yang telah diuraikan sebelumnya. Dua bocah perempuan di Padang tidak lagi menerima perlakukan kasar dari keluarga dan tetangganya, dan mereka dapat menikmati pendidikan di sekolah. Remaja 14 tahun di Bandung yang bisa pergi ke sekolah dengan baik dan terhindar dari trauma yang menyakitkan itu. Serta para santriwati yang bisa dengan leluasa dan penuh keceriaan menatap masa depan dan menikmati pendidikan yang selayaknya tanpa ada teror dari predator seksual di sekitar mereka. Lalu kalikan keuntungan sosial, ekonomi, dan kultural dari itu dengan setiap keluarga, setiap komunitas baik di desa maupun di kota.
Bayangkan manfaat yang besar itu. Generasi berikutnya akan bertumbuh tanpa perlu mengalami kekerasan.
Sekali lagi, tentunya ini membutuhkan peran aktif kita bersama, sebagai orang dewasa yang memiliki panggilan dan kewajiban untuk melakukan ini.
Rafly Parenta Bano
(Statistisi Ahli Muda Badan Pusat Statistik)
Artikel ini juga bisa Anda baca di Koran Info Indonesia edisi Rabu, 20 Juli 2022.
Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo
Komentar