POLHUKAM

Pencabulan Anak di Kediri Tak Boleh Damai

Anggota Komisi IV DPR RI, Luluk Nur Hamidah. (Kristian Erdianto)
Anggota Komisi IV DPR RI, Luluk Nur Hamidah. (Kristian Erdianto)


JAKARTA - Oknum guru SD negeri di Kediri, Jawa Timur, yang diduga mencabuli delapan siswanya lolos dari tuntutan hukum. Kasus ini berakhir damai kedua belah pihak.

Hal ini disesalkan anggota Komisi IV DPR RI, Luluk Nur Hamidah. Meski M sudah diperiksa Inspektorat Dinas Pendidikan, kasus pencabulan malah berakhir damai antara pelaku dan korban.

"Aparat kepolisian Kediri harus segera bertindak sesuai dengan kewenangannya, apalagi pelaku sudah jelas mengakui perbuatannya," kata anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini.

Luluk mengingatkan, UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dapat menjerat pelaku tanpa harus ada pengaduan.

"Eksploitasi seksual itu ancamannya bisa 15 tahun penjara. Yang harus diketahui oleh masyarakat, bahwa kekeraan seksual di mana korbannya adalah anak-anak bukan delik aduan dan tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan," Luluk dalam keterangan resminya, Kamis (21/7/2022).


Dalam Pasal 23 UU TPKS disebutkan, Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam UU. Pelaku juga bisa diberikan pemberat hukuman karena statusnya sebagai tenaga pendidik.

"Penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan, kehormatan dan pengaruh serta kepercayaan justru menjadi faktor pemberat bagi pelaku. Pencabulan yang dilakukan oleh guru merupakan tindak kejahatan yang sangat serius," ungkap Luluk.

Legislator dari Dapil Jawa Tengah IV ini pun menyayangkan langkah pihak sekolah dan Dinas Pendidikan Kediri memfasilitasi upaya damai antara pelaku dan korban, yang diwakili oleh orang tua korban. Menurut Luluk, hal ini juga menyalahi UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Dinas Pendidikan dan pihak sekolah seharusnya berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) terkait agar korban mendapatkan pendampingan dan layanan pemulihan.

"Serta tentunya secara hukum korban juga didampingi. Ini akan jadi preseden bagi semua kasus kekerasan seksual jika berakhir dengan damai, terlebih upaya damai ini dilakukan terhadap korban anak-anak," sebutnya.

Luluk mengatakan, pemenuhan keadilan bagi korban kekerasan seksual harus dilakukan untuk melindungi kepentingan dan masa depan korban. Ia mengingatkan, para korban berhak didampingi dan dilindungi martabatnya.

"Para korban berhak untuk tidak diekspos nama, wajah dan identitasnya secara terbuka. Bahkan pengadilan juga dapat diselenggarakan secara tertutup demi melindungi korban anak-anak," papar Luluk.

"Jadi orangtua atau keluarga jangan takut untuk menempuh jalur hukum, dan kita minta aparat penegak hukum untuk secara proaktif menindaklanjuti kasus ini dengan memanggil pihak-pihak terkait, khususnya pelaku, saksi-saksi, dan juga korban,” imbuh politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini.

Luluk pun menyoroti sanksi kepada oknum guru pelaku pencabulan itu yang hanya sebatas pemindahan tugas. Walaupun hal ini adalah kewenangan pihak sekolah, kasus pidananya tak boleh berhenti hanya sampai dengan pindah tempat mengajar dan kata damai.

"Memindahkan guru tersebut ke sekolah lain tanpa proses hukum justru akan menjadi teror di tempat yang baru dan ada kemungkinan memakan korban baru karena tidak adanya tindakan hukum yang membuat jera pelaku," kritik Luluk.

Luluk menambahkan, citra pelaku yang dianggap baik selama ini tidak bisa menjadi alasan perbuatannya lantas dimaklumi. Sekalipun pelaku akan pensiun sebentar lagi, ia menilai kasus hukumnya harus tetap berjalan.

"Normalisasi kekerasan seksual harus diakhiri! Pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja, termasuk sosok yang dihormati atau dianggap baik seprti guru di Kediri ini," tegasnya.

"Sosoknya yang dianggap baik justru ia gunakan untuk memanipulasi, membohongi, dan mengeksploitasi murid-muridnya secara seksual. Ini tidak dapat dimaaafkan!" sambung Luluk.

DPR berharap setiap sekolah dan seluruh tenaga pendidik mawas terhadap adanya kekerasan seksual yang melibatkan oknum guru sebagai pelakunya. Apalagi, kata Luluk, kasus kekerasan seksual dilakukan di dalam lingkungan sekolah.

"Sesuai dengan temuan Komnas Perempuan, lembaga pendidikan menempati urutan teratas dalam semua kasus kekerasan seksual. Dan kita tidak menginginkan ini terus terjadi. Pihak sekolah harus mengantisipasi dan melakukan langkah tegas," pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka, meminta pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap tingginya angka kekerasan seksual pada anak. Berdasarkan keterangan terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), setidaknya ada 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sepanjang tahun 2021.

Diah menilai tingginya angka kekerasan seksual pada anak sangat memprihatinkan dan tidak bisa dibiarkan. Apalagi, kasus kekerasan seksual pada anak belakangan banyak terjadi di lembaga pendidikan yang berperan dalam tumbuh kembang anak meski kejahatan tersebut dilakukan dalam ranah pribadi.

"Anak harus mendapat perlindungan dari predator seksual. Orangtua serta orang-orang di sekitarnya tidak boleh lagi diam karena saat ini Indonesia telah memiliki UU TPKS yang lebih bisa menjerat pelaku kekerasan seksual," ujar Diah, Rabu (20/7/2022).

Legislator dari Dapil Jawa Barat III itu menegaskan, DPR berkomitmen mengawal pelaksanaan dari UU TPKS agar tidak ada lagi korban kekerasan seksual. Utamanya, kata Diah, dari kalangan anak.

"UU TPKS jadi landasan kuat untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia. Tidak boleh ada tempat sedikit pun untuk pelaku kekerasan seksual yang dapat merusak masa depan anak sebagai generasi penerus bangsa," tegasnya.

"Sesuai tema peringatan Hari Anak Nasional 2022 'Anak Terlindungi, Indonesia Maju', kita harus pastikan keamanan anak dari kekerasan seksual demi kemajuan Indonesia," imbuh Diah.

Artikel ini juga bisa Anda baca di Koran Info Indonesia edisi Jumat, 22 Juli 2022.

Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo