POLHUKAM

Identifikasi Risiko Perubahan Iklim

Kenaikan Suhu Indonesia Capai 3 Derajat Celsius

Bencana banjir rob di Kota Semarang, Mei 2022. (Antara Foto/Aji Styawan)
Bencana banjir rob di Kota Semarang, Mei 2022. (Antara Foto/Aji Styawan)


JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memproyeksikan kenaikan suhu udara di seluruh kota besar Indonesia pada akhir abad 21 dapat mencapai 3 derajat Celsius atau lebih. Hal itu dapat terjadi apabila Indonesia tidak berhasil melakukan mitigasi perubahan iklim.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan, perubahan iklim telah berada pada batas kondisi kritis yang akan menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Dampak perubahan iklim semakin nyata dan serius, laju kenaikan suhu dalam 42 tahun terakhir telah mencapai rata-rata 0,02 derajat Celsius hingga 0,443 derajat Celsius per dekade di wilayah Indonesia.

Sedangkan, kenaikan suhu udara permukaan global telah mencapai 1,1 derajat Celsius dibandingkan masa praindustri pada tahun 1850 hingga 1900.

"Tertinggi mencapai 0,4 derajat Celsius per dekade terjadi di Kalimantan Timur," kata Dwikorita dalam Rakornas BMKG 2022 secara daring di Jakarta, Senin (8/8/2022).

Dwikorita mengungkapkan, BMKG juga mencatat dampak perubahan iklim mengakibatkan semakin hangatnya suhu muka air laut di perairan Indonesia hingga mencapai suhu 29 derajat Celsius pada saat terjadi La Nina moderat dan Badai Tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur.


Selain itu, gletser di Puncak Jayawijaya berdasarkan hasil riset BMKG, saat ini tinggal kurang lebih 2 kilometer persegi atau 1 persen dari luas awalnya sekitar 200 kilometer persegi.

"BMKG juga memprediksi gletser tersebut akan punah, mencair pada sekitar 2025-2026," ujar Dwikorita.

Ia menjelaskan, kenaikan rata-rata muka air laut global termonitor pula mencapai 4,4 mm per tahun pada periode 2010-2015, lebih tinggi lajunya jika dibandingkan periode sebelum 1900 yaitu sebesar 1,2 mm per tahun.

Periode ulang anomali iklim El Nino dan La Nina juga semakin pendek dari 5-7 tahun pada periode 1950-1980, menjadi hanya 2-3 tahun selama periode setelah 1980 hingga saat ini.

"Seluruh fenomena tersebut berakibat pada semakin meningkatnya frekuensi intensitas dan durasi cuaca ekstrem. Itulah sebabnya kejadian bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, banjir bandang, badai tropis, puting beliung, dan kekeringan juga semakin meningkat frekuensi, intensitas, durasi, dan kejadiannya," kata dia. 

Dwikorita juga menyebut perubahan iklim dapat mengancam ketahanan pangan di Indonesia.

Cuaca ekstrem dan bencana hidrometeorologi mengakibatkan kegiatan pertanian dan perikanan semakin rentan untuk terganggu dan gagal. Bahkan mengancam produktivitas hasil panen dan tangkap ikan, serta mengancam keselamatan para petani dan nelayan.

Sehingga, petani dan nelayan sebagai mata rantai terakhir dari penerima informasi cuaca dan iklim, sekaligus ujung tombak ketahanan pangan perlu didukung oleh BMKG dalam mengantisipasi cuaca dan iklim ekstrem yang dapat berdampak kepada kegiatan pertanian maupun kegiatan melaut.

"Mekanisme sekolah lapang yang diselenggarakan oleh BMKG bersama mitra terkait adalah platform yang didesain dan dilaksanakan untuk memfasilitasi literasi petani dan nelayan tersebut," ujar Dwikorita.

Melalui sekolah lapang, pemanfaatan info BMKG diperkuat dan disebarluaskan agar dapat lebih dimanfaatkan oleh para petani dan nelayan, serta berbagai pihak terkait dalam mendukung kegiatan pertanian dan perikanan secara lebih adaptif, produktif dan tangguh.

"Pengenalan cuaca dan iklim bagi para petani dan nelayan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman petani dalam menyiasati metode dan waktu tanam agar tidak gagal panen," kata Dwikorita.

Diharapkan pula para nelayan dapat menyiasati waktu dan penentuan target zona tangkap ikan agar dihasilkan tangkapan yang jauh lebih produktif, dengan tetap terjaga keselamatannya dalam berlayar.

Dalam acara tersebut, Presiden Joko Widodo memerintahkan BMKG mengidentifikasi risiko perubahan iklim dan dampaknya secara menyeluruh.

Jokowi juga meminta BMKG memperkuat layanan informasi dan literasi, terutama di wilayah pertanian dan perikanan agar petani dan nelayan bisa mengantisipasi terjadinya cuaca ekstrem. BMKG juga diminta memperluas cakupan forum sekolah lapang iklim dan sekolah lapang cuaca nelayan agar dampaknya lebih signifikan.

"Dampak dari perubahan iklim ini sangat serius. Kita perlu memiliki kebijakan dan sistem yang teruji dan tangguh untuk menjamin ketahanan pangan secara merata dan berkesinambungan, serta sistem peringatan dini ketika bencana akan terjadi," ujarnya.

Menurut Jokowi, BMKG memiliki peran sangat strategis untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional. BMKG harus berfungsi untuk mengawasi, memprediksi dan mengeluarkan peringatan dini tentang kondisi cuaca dan iklim ekstrem.

"Ini sangat membantu untuk perumusan strategi pencegahan dan penanggulangan," katanya.

Saat ini, dunia menghadapi tantangan perubahan iklim yang kritis. Organisasi Meteorologi Dunia menyatakan indikator perubahan iklim dan dampak perubahan itu pada 2021 makin memburuk. Hal itu terindikasi dari kondisi tujuh tahun terakhir telah menjadi tujuh tahun dengan suhu terpanas.

"Kondisi ini menjadi tantangan nyata bagi kita. Penanggulangan perubahan iklim menjadi isu prioritas dan tantangan global setelah meredanya COVID-19," katanya.

Dampak perubahan iklim, menurut Jokowi, sangat luas dan multi-sektoral. Salah satu dampak itu adalah terjadinya bencana alam dan timbulnya ancaman ketahanan pangan.

Artikel ini juga bisa Anda baca di Koran Info Indonesia edisi Selasa, 9 Agustus 2022.


Video Terkait:
Gempa Yogyakarta, Warga Panik Lari ke Luar Rumah
Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo