JAKARTA - Pemberian bebas bersyarat terhadap Pinangki Sirna Malasari atau yang dikenal dengan eks jaksa Pinangki memberi pesan jika hukuman untuk koruptor tidak menakutkan, dan tidak akan membuat jera para koruptor.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyatakan kecewa dengan banyaknya remisi dan bebas bersyarat untuk napi koruptor.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan, pesan efek jeret tidak sampai karena nampak hukumannya sudah ringan, dan dapat keringanan-keringanan lagi, bahkan bebas bersyarat yang sebelumnya dipotong remisi.
Boyamin mengatakan, perhitungan pemberian bebas bersyarat setelah napi menjalani 2/3 itu pun salah. Sebab selama ini, kata dia, dipotong remisi dulu baru dihitung 2/3. Seharusnya, kata Boyamin, menghitungnya adalah 2/3 dari masa tahanan. Jadi, misalnya 6 tahun, maka 2/3-nya 4 tahun.
Selama ini cara menghitungnya dipotong dulu remisi 1 tahun sehingga tinggal 5 tahun, lalu 2/3-nya tinggal 3 tahunan lebih dikit. Itu cara menghitung yang salah.
"Mestinya dua per tiga itu dari keseluruhan hukuman. Bukan setelah dipotong remisi," ujar Boyamin kepada Info Indonesia, Rabu (7/9/2022).
Selain pesan efek jera yang tidak sampai kepada masyarakat, hukuman buat koruptor akan dianggap biasa saja. Dengan begitu, maka orang tidak takut untuk korupsi.
Menurut Boyamin, seharusnya tidak semua napi mendapatkan resmi. Dirinya menyayangkan sikap DPR yang tidak menganggap kejahatan korupsi penting, sehingga membolehkan semua fasilitas pengurangan dan lain sebagainya menjadi milik semua kasus pidana.
MAKI berharap ke depannya hakim memberikan hukuman yang tinggi dan sekaligus pencabutan hak kepada koruptor.
Hak itu, kata Boyamin, bukan hanya hak politik tidak ikut pemilu, tapi juga mencabut hak untuk mendapatkan pengurangan. Boyamin mengatakan hal itu sudah berlaku di Amerika. Dan harusnya juga berlaku di Indonesia, sebab itu dimungkinkan di KUHP kita.
"Jadi selain di hukum tinggi maka ditambah pencabutan hak untuk mendapatkan pengurangan itu harus kita dorong," kata Boyamin.
Dalam kasus Pinangki, Boyamin dengan tegas menyebut Kejaksaan Agung adalah pihak yang paling bersalah. Hal itu terkait Kejagung yang hanya diam terhadap putusan 4 tahun Pinangki.
"Kan putusan pertama 10 tahun, kemudian banding jadi empat tahun. Terus Kejagung berhenti, secara hukum tidak melakukan kasasi sehingga ya akhirnya sekarang bebas bersyarat," kata Boyamin.
"Jadi yang paling salah dalam kasus Pinangki ya Kejaksaan Agung. Karena tidak melakukan kasasi terhadap keputusan tingkat banding yang menjadikan empat tahun itu."
Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo
Komentar