EKONOMI

Kiamat Ekonomi di Tahun Politik

Segera Bentuk Tim Ekonomi Darurat

Ilustrasi. (Tempo.co)
Ilustrasi. (Tempo.co)


JAKARTA - Dunia diramalkan mengalami ‘kiamat ekonomi’ pada 2023. Indonesia bakal merasakan efek ganda karena resesi global terjadi bersamaan dengan tahun politik menyongsong Pemilu. 

Sebelum situasi memburuk, Presiden Jokowi disarankan merombak tim ekonomi kabinet dan mengisinya dengan orang-orang profesional yang bisa fokus bekerja bebas dari kepentingan politik 2024.

Ekonom top dunia, Nouriel Roubini, yang memprediksi dunia tengah memasuki era baru krisis stagflasi hebat yang belum pernah ada sebelumnya. Omongan profesor ekonomi di Stern School of Business Universitas New York ini selalu diperhitungkan oleh para pemimpin dunia karena akurasinya. Salah satu ramalan Roubini yang benar-benar menjadi nyata adalah krisis global 2008.

Nasib ekonomi global di masa mendatang disampaikan Roubini lewat artikel yang dimuat Time, berjudul "We're Heading for a Stagflationary Crisis Unlike Anything We've Ever Seen”, terbit Kamis (13/10/2022).

Menurutnya, ekonomi global telah teracuni kombinasi antara pertumbuhan yang rendah dan inflasi yang tinggi, atau stagflasi yang membawa dunia kepada kebangkrutan besar-besaran dan krisis keuangan yang berjenjang.


Ekonom berjulukan ‘Bapak Kiamat’ itu menyatakan analisanya berdasarkan situasi dunia yang sedang memasuki era baru ekonomi global setelah era hiper-globalisasi, geopolitik yang relatif stabil, dan inovasi teknologi yang telah menjaga tingkat inflasi sejak era perang dingin.

Roubini berargumen, dampak pengetatan kebijakan moneter sebetulnya sudah terasa sekarang. Gelembung di sektor-sektor ekonomi mulai kempis di mana-mana, termasuk ekuitas publik dan swasta, real estate, perumahan, saham-saham viral, kripto, bisnis akusisi, obligasi dan instrumen kredit lainnya. Kekayaan aset riil dan finansial telah merosot, dan utang serta rasionya meningkat.

Apa yang gelap adalah karena yang bakal terjadi tidak pernah ditemui pada krisis-krisis sebelumnya. Pada krisis 1970-an, stagflasi tidak dibarengi dengan krisis utang karena jumlah utang waktu itu rendah. Pada krisis global 2008, ledakan krisis utang dunia tidak dibarengi dengan tingkat inflasi yang tinggi.

Hari ini, kata dia, dunia menghadapi kedua-duanya sehingga yang bakal terjadi adalah kombinasi antara krisis stagflasi 1970-an dengan krisis utang global 2008.

Roubini tidak sendiri. Bank Dunia jauh-jauh hari sudah mengatakan ada risiko besar stagflasi global akibat pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina.

Presiden Jokowi pun sempat mengingatkan kondisi dunia yang penuh ketidakpastian dalam agenda pengarahan kepada seluruh Menteri dan Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pimpinan BUMN, Pangdam, Kapolda, dan Kajati, di Jakarta Convention Center, Kamis (29/9/2022).

Dia saat itu meminta jajarannya untuk tidak berpuas diri walau Indonesia mendapatkan sertifikat swasembada beras dan ketahanan pangan dari lembaga internasional.

"Jangan senang dulu, karena sekali lagi dunia penuh dengan ketidakpastian. Krisis pangan, krisis energi, kita baru saja menyesuaikan harga BBM. Coba bandingkan dengan negara-negara lain, harga sampai Rp32.000, Rp30.000, Rp24.000. Gas bisa naik sampai 500 persen. Kondisi-kondisi seperti ini yang harus kita tahu, krisis finansial," ucap Jokowi.

Dia mengatakan berbagai krisis itu berdampak ke Indonesia. Semua pihak berhati-hati atas ketidakpastian dunia.

"Kalau kita baca media sosial, media cetak, semuanya, media online. Semuanya mengenai resesi global. Tahun ini sulit dan tahun depan, sekali lagi saya sampaikan, akan gelap. Kita enggak tahu badai besarnya seperti apa, sekuat apa, enggak bisa dikalkulasi," tuturnya.

Peringatan senada datang dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. yang menyebut situasi dunia dalam bahaya.

Saat membuka pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara anggota G20 di Washington DC, Amerika Serikat, Kamis lalu, dia mengatakan situasi global tahun ini mungkin berlanjut hingga 2023.

Akhir September, Sri Mulyani juga mengungkapkan proyeksi ekonomi global jatuh ke jurang resesi pada tahun depan. Ia mengatakan kenaikan suku bunga acuan bank sentral di sejumlah negara akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu, sejumlah negara berpotensi masuk ke jurang resesi pada 2023 mendatang.

"Kenaikan suku bunga cukup ekstrem bersama-sama, maka dunia pasti resesi pada 2023,” jelasnya dalam konferensi pers, Senin (26/9/2022).

Ditopang Ekonomi Domestik

Peneliti ekonomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Maxensius Tri Sambodo, menilai, tantangan ekonomi tahun depan memang akan lebih berat daripada tahun ini. Paling tidak beberapa negara mitra dagang Indonesia, seperti AS, Tiongkok, hingga negara-negara di Eropa, akan mengalami laju perekonomian yang kian melambat.

Tekanan inflasi yang tinggi di negara-negara maju terebut akan berdampak kepada suku bunga yang naik. Hal ini akan memberikan dampak terkait kondisi ekonomi domestik.

“Namun penting juga menjadi catatan bahwa ekonomi domestik itu relatif tingkat keterbukaannya tidak sebesar negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina,” kata Maxensius kepada Info Indonesia, Selasa (18/10/2022).

Baginya itu merupakan kelebihan. Artinya, ekonomi Indonesia tidak akan berdampak terlalu dalam kalaupun terkena pengaruh dari keterpurukan negara-negara maju. Apalagi Indonesia adalah negara dengan ekonomi domestik yang besar.

Karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah mencermati perubahan-perubahan dunia dan tetap mengoptimalkan sumber daya domestik.

Indonesia punya permintaan domestik yang harus dijaga daya belinya. Kemudian Indonesia punya prospek beberapa sektor yang harus diperkuat, seperti sektor pangan dan energi.

“Agar dampak gejolak global seperti kenaikan harga pangan dan energi dunia itu bisa kita sikapi, maka perlu menambah pasokan lebih baik di tingkat domestik kemudian juga perhatikan ketahanan pangan. Itu hal yang bisa kita lakukan untuk menyikapi perubahan domestik,” jelasnya.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) harus mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar inflasi yang disebabkan oleh faktor luar bisa diredam. Misalnya melalui kebijakan moneter yang agak ketat agar rupiah tidak melemah. Atau, dengan intervensi pada pasar valuta asing.

Selain itu, Presiden Joko Widodo harus terus mendorong koordinasi antara kementerian. Terutama pada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional /Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Peningkatan koordinasi bertujuan untuk membangun kebijakan-kebijakan yang terintegrasi. Tentu saja hal ini sebagai respons kondisi global yang makin tidak menentu.

“Tentu kita berharap agar kondisi krisis yang terjadi di Rusia dan Ukraina bisa segera terselesaikan agar kondisi global kita semakin baik, sedangkan disrupsi dari rantai pasok nilai global itu tidak terlalu berat,” ujarnya.

Tergantung Negara Maju

Peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, jika dilihat dari faktor penyebab krisis antara tahun 2020 dan 2008, memang bisa dilihat perbedaan yang signifikan terutama dari dampak yang diberikan.

Krisis yang disebabkan pagebluk memberikan kekacauan ekonomi yang cenderung lebih besar karena berdampak pada sektor permintaan maupun pasokan dan melibatkan lebih banyak negara.

Ditambah lagi oleh krisis geopolitik yang tadinya hanya melibatkan Rusia dan Ukraina, sekarang melibatkan lebih banyak negara, termasuk di dalamnya Tiongkok-Taiwan dan Korea Utara-Korea Selatan-Jepang.

“Jadi menurut saya, kekhawatiran Roubini menjadi dapat diterima. Apakah akan seburuk yang digemborkan, saya kira akan ditentukan bagaimana negara maju berhasil meredam inflasi ke level yang tidak begitu tinggi,” kata Yusuf.

Dalam konteks Indonesia, negara ini diuntungkan dengan relatif kecilnya koneksi perekonomian dengan global. Namun, dengan risiko resesi yang bisa terjadi di tahun depan, terdapat peluang harga komoditas melambat dan berdampak pada kinerja ekspor Indonesia.

Yusuf menambahkan, Indonesia ditopang oleh perekonomian domestik, dalam hal ini konsumsi rumah tangga dan Investasi. Jika melihat tren positif keduanya untuk tahun ini dengan asumsi bisa melanjutkan di tahun depan maka Indonesia punya modal awal dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi 2023.

"Tentu saja dengan catatan reformasi struktural yang harus terus didorong pemerintah, terutama dalam upaya mendorong laju investasi di tahun 2023. Kabinet saat ini perlu diingatkan terus terkait kondisi yang menghantui untuk tahun 2023, sehingga bisa bekerja sama dalam menghadapi potensi krisis atau resesi di tahun depan,” katanya.

Tim Ekonomi Darurat

Pengamat ekonomi dari Universitas Surakarta (UNSA), Agus Trihatmoko, menilai, para menteri kabinet Jokowi di bidang ekonomi diperkirakan tidak sanggup merespons kondisi ekonomi ke depan. Dalam menanggapi krisis, para menteri sektor ekonomi tampak hanya bisa membuat kalkulasi bantuan langsung tunai, besaran subsidi, hingga utang negara.

Menurut Agus, ancaman krisis ekonomi global tidak main-main, terlepas dari ketegangan Rusia-Ukraina dan pandemi COVID-19. Fakta kali ini sebagai konsekuensi dari globalisasi ekonomi yang liberalis. Para pemimpin dunia termasuk Indonesia harus paham bahwa 25 tahun lalu euforia globalisasi menjadi simbol kemajuan negara.

Alhasil, politik ekonomi global tersebut berbenturan. Titik sentralnya adalah pola neoliberal kapitalisme yang secara teoretis tidak seimbang dengan pasarnya berbagai industrialisasi.

Masalah itu bukan perkara mudah. Diperlukan keseriusan tingkat tinggi oleh para perancang dan penentu kebijakan, dalam hal ini kabinet bidang ekonomi.

“Bukan apatis, tetapi saya sependapat menteri di bidang ekonomi kita tidak sanggup merespons krisis ekonomi global tahun depan,” ujar Agus.

Dia meminta pemerintah tidak abai dan menganggap enteng atas potensi krisis ekonomi tahun depan.

Menurut Agus, fakta menyatakan bahwa kinerja para menteri ekonomi Kabinet Indonesia Maju selama ini datar-datar saja.

“Hasil sempurna tentu tidak mungkin, karena kondisi ekonomi dan politik global sedang buruk. Namun demikian Indonesia harus mampun meredam, bertahan dan kemudian ke depan bangkit,” kata dia.

Dia pun menyarankan Presiden Jokowi membentuk tim atau kabinet khusus penangangan krisis ekonomi. Walau sebenarnya secara fungsional sudah ada pada tim Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN),
tim daruat ini bisa diisi oleh para ahli yang benar-benar kompeten dan profesional. 

Berbeda dengan tim ekonomi kabinet yang saat ini didominasi oleh orang-orang partai politik sehingga fokus mereka terbelah antara penanganan potensi krisis dan persiapan Pemilu 2024.

“Tim tersebut di bawah kendali langsung oleh Presiden Jokowi. Tentu saja Presiden juga menempatkan staf khusunya sebagai mediator hariannya dalam membuat rumusan teknis,” ujarnya.

Artikel ini juga bisa Anda baca di Koran Info Indonesia edisi Rabu, 19 Oktober 2022. 

Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo