WARNA-WARNI

Pemerintah Daerah Harus Bisa Memperkuat Regulasi Ramah Perempuan dan Anak

Menteri PPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati
Menteri PPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati


JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengharapkan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota memperkuat regulasi yang ramah perempuan dan anak.

 

Selain memperkuat regulasi, pemangku kebijakan diharapkan memberikan porsi yang besar terhadap partisipasi perempuan dan tidak melulu terpaku pada budaya patriarki. 

"Budaya patriarkis bisa diubah, tergantung dari sejauh mana perempuan bisa melakukan pendekatan dalam mengikis budaya yang sangat tebal, asalkan ada kebijakan yang memberikan peluang dan kesempatan yang setara antara laki-laki dengan perempuan," kata Menteri PPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga, di Denpasar, Bali, Minggu (27/11/2022).

Bintang mengatakan, budaya patriarki yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia bukanlah hal yang tidak bisa diubah. Karena itu, peluang yang setara untuk perempuan berpartisipasi dalam proses politik tidak bisa dianggap sebagai kemustahilan.


"Tidak ada budaya yang statis, tetapi budaya itu dinamis searah dengan perkembangan zaman. Karena itu, perempuan diharapkan aktif berpartisipasi," kata Bintang.

Bintang mengatakan, sejak 2021, pihaknya telah berusaha dengan berbagai pihak lintas kementerian/lembaga, tokoh adat, dan masyarakat mengembangkan strategi desa/kelurahan ramah anak.

Dia mengakui bahwa mengusahakan hal tersebut bukanlah hal yang mudah, tetapi permasalahan yang sangat kompleks yang membutuhkan komitmen, sinergi, kebijakan yang strategis dimulai dari bawah.

"Kita mulai dari tingkat akar rumput bagaimana membangun kepedulian para pengambil kebijakan yang memperhatikan aspek keterlibatan perempuan dan anak," kata dia.

Bintang mengatakan, sebenarnya perempuan adalah kekuatan bangsa yang luar biasa besarnya di Indonesia. Dengan jumlah penduduk 270,2 juta, sebanyak 49,6 persen adalah perempuan dan anak 31 persen. Karena itu, berbicara tentang perempuan dan anak bagi kebijakan bukan suatu pilihan, tetapi suatu keharusan.

"Sama kalau kita bicara tentang energi bersih terhadap masalah krisis perubahan iklim pasti yang akan terdampak adalah perempuan dan anak. Karena itu perempuan dan anak bukan menjadi objek pembangunan, tetapi perempuan dan anak menjadi subjek pembangunan," kata dia.

Selain itu, Bintang menyebutkan, dari catatan Komnas Perempuan, hampir 400 kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk mewujudkan amanat undang-undang yang menggariskan posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan.

"Mudah-mudahan dengan tema perempuan berdaya, semua kebijakan-kebijakan pemimpin daerah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, memberikan peluang dan kesempatan kepada perempuan bahwa tidak ada yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan asalkan diberikan kesempatan," pungkasnya.

Editor: Rusdiyono