JAKARTA - Perubahan iklim yang sangat cepat dalam lima dekade terakhir telah memicu berbagai bencana, maka penting untuk memikirkan langkah mitigasi yang akurat, khususnya terhadap golongan paling rentan, yaitu perempuan.
Dalam setiap bencana, kaum perempuan adalah yang paling terdampak. Perempuan rentan mengalami eksploitasi, pelecehan seksual, kekerasan, kawin paksa, penyakit yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi, dan kematian akibat kurangnya perlindungan dan tidak adanya pengiriman bantuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Kerentanan itu seringkali dapat teridentifikasi pada bagaimana kedudukan perempuan dalam masyarakat serta norma gender dan budaya yang ada di wilayah di mana mereka tinggal.
Menurut UNDP, sekitar 80 persen dari total penduduk yang mengungsi karena adanya perubahan iklim adalah perempuan. Oleh karena itu, ketika terjadi bencana, perempuan menjadi pihak yang paling terdampak, bahkan mungkin bisa lebih parah, yaitu terpapar kemiskinan dibandingkan laki-laki.
Ketika bencana terjadi, perempuan cenderung tidak dapat menyelamatkan diri. Pertama, ini terkait dengan beban tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga, mengasuh anak, dan merawat lansia, yang berkontribusi menghambat perempuan mengevakuasi diri secara lebih tanggap. Akibat dari peran gender yang kaku tersebut, dapat membuat perempuan lamban dalam mengantisipasi bencana dan tidak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri.
Kedua, terkait dengan kebudayaan tertentu. Misalnya ketika terjadi banjir, perempuan tidak dapat berenang ke tempat yang lebih aman. Beberapa wilayah dengan komunitas atau kebudayaan tertentu, yang mengatur pakaian perempuan, mempengaruhi kemampuan perempuan dalam proses evakuasi bencana. Perempuan mungkin akan cenderung lebih sulit untuk menyelamatkan diri karena dihambat oleh pakaian yang mereka gunakan.
Ketiga, kondisi sosial ekonomi perempuan yang lebih rendah dan akses mereka yang terbatas pada informasi dan teknologi. Sosial ekonomi yang dimaksud mencakup tingkat kemiskinan perempuan, kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan, berkurangnya akses ke pendidikan dan kesempatan kerja bagi perempuan, upah yang lebih rendah, single parent, dan lebih cenderung menjadi penyewa daripada pemilik rumah.
Hasil Susenas dari Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa pada 2020, persentase perempuan yang miskin sekitar 0,37 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Rumah tangga miskin didominasi oleh rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan dan umumnya single parent.
Pada 2019, persentasenya mencapai 67,37 persen. Di samping itu, hanya sekitar 61,31 persen perempuan yang berperan sebagai kepala rumah tangga yang bekerja.
Selain itu, persentase perempuan yang belum pernah bersekolah sekitar 2,24 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki, dan sekitar 0,22 persen lebih rendah jika dilihat dari persentase akses ke rumah sakit pemerintah.
Akses perempuan terhadap internet juga lebih rendah 6,26 persen dibandingkan laki-laki. Padahal, akses terhadap informasi, seperti informasi peringatan dan tempat evakuasi yang aman sangat penting dalam mengantisipasi bencana.
Laki-laki cenderung lebih cepat dan aktif mengumpulkan informasi tentang peringatan dini, sementara perempuan mengumpulkan informasi dari mulut ke mulut dan cenderung memiliki pengetahuan yang terbatas tentang bencana, serta tempat yang aman untuk mengevakuasi diri.
Alhasil, di tempat pengungsian perempuan kerap kali mengalami pelecehan dan eksploitasi seksual, penganiayaan fisik hingga human trafficking. Tinggal di tempat pengungsian yang padat dapat meningkatkan stres yang akan mengarah pada perilaku seksual yang agresif. Stres yang disebabkan karena trauma atas tragedi bencana, juga berkontribusi memicu tindakan kriminalitas lainnya yang membahayakan bagi perempuan.
Pasca bencana, perempuan tetap menghadapi perilaku ketidaksetaraan gender. Perempuan lah yang bertanggung jawab untuk merawat orang yang sakit dan terluka, melakukan aktivitas pembersihan, hingga mengasuh anak yang tidak bersekolah. Jika suami menjadi korban bencana, maka tanggung jawab mencari nafkah otomatis dibebankan kepada perempuan. Perempuan kemudian memikul tanggung jawab ganda, mengurus rumah tangga, anak dan lansia, serta bekerja di luar rumah. Sementara anak perempuan akan dipaksa menarik diri dari sekolah, membantu ibunya mengurus rumah tangga.
Perempuan harus bekerja lebih keras menghidupi keluarga mereka yang selamat. Perempuan lah yang secara langsung terlibat mengantre untuk mengumpulkan bantuan, bahkan berjalan kaki lebih jauh untuk memenuhi kebutuhan air, di mana pada umumnya aktivitas tersebut sering terjadi di siang hari. Alhasil, akses perempuan ke pekerjaan dan pendidikan menjadi terhambat, sehingga mereka terpaksa keluar dari pasar kerja, bahkan anak perempuan akan dikeluarkan dari sekolah agar dapat membantu ibunya mengurus rumah tangga.
Dengan demikian, kebijakan yang mempertimbangkan kesetaraan gender selama dan pasca bencana akan mereduksi dampak bencana dengan lebih efisien. Misalnya, pembangunan infrastruktur evakuasi dan pengungsian, di mana baik perempuan maupun laki-laki mengetahui letaknya dan waktu penggunaannya.
Tak hanya itu, desain hunian yang aman dan ramah terhadap perempuan juga perlu dipertimbangkan. Pengambil kebijakan harus memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap informasi peringatan dini dan pelatihan mitigasi bencana agar perempuan dapat mengantisipasi secara dini dan mengetahui apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat.
Keterwakilan perempuan dalam manajemen mitigasi bencana juga perlu ditingkatkan. Perempuan perlu dilibatkan dalam memberikan pelatihan kesiapsiagaan dan tanggap darurat, sehingga dapat memperkuat posisi mereka di masyarakat dan memastikan lebih banyak perempuan mendapatkan informasi tentang kesiapsiagaan dan tanggap bencana.
Selain itu, kehadiran perempuan dalam aksi evakuasi, kemanusiaan, serta tanggap bencana, juga perlu didorong karena signifikan dalam menurunkan kekerasan berbasis gender, dan biasanya membantu mengidentifikasi kebutuhan perempuan dan anak-anak.
Editor: Rusdiyono
Komentar