
JAKARTA - Pemerintah berencana memberikan insentif untuk pembelian kendaraan listrik, meski aturannya sedang dalam tahap finalisasi.
Insentif untuk pembelian mobil listrik hingga Rp80 juta, mobil listrik berbasis hibrida Rp40 juta, dan motor listrik mendapat Rp8 juta jika pembelian baru.
Sedangkan, untuk motor konversi menjadi motor listrik akan diberikan sekitar Rp 5 juta. Catatannya, insentif akan diberikan kepada pembeli yang membeli mobil atau motor listrik yang mempunyai pabrik di Indonesia.
Presiden Joko Widodo menyebutkan, insentif yang rencananya diberikan pemerintah dalam pembelian mobil dan motor listrik bertujuan untuk memacu pertumbuhan industri kendaraan listrik.
"Kami harapkan dengan insentif itu, industri mobil listrik, motor listrik di negara kita bisa berkembang. Kalau berkembang, pajak pasti meningkat, PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) pasti bertambah, dan yang paling penting akan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya, karena ini akan mendorong industri pendukung lainnya," kata Presiden di Istana Merdeka Jakarta, Rabu (21/12/2022).
"Kita harus lihat beli sekarang hampir semua negara melakukan pemberian insentif. Ini dilakukan dengan kalkulasi dan kajian, serta mempelajari negara-negara lain, terutamanya di Eropa yang sudah melakukan," ungkap Presiden.
Presiden juga menyebut insentif untuk angkutan umum selama produksinya berada di dalam negeri akan berbeda jumlahnya.
Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan, terkait mobil listrik, sebetulnya insentif dilakukan oleh semua negara. Karena kuncinya adalah energi transisi, di mana pengguna yang terbesar adalah sektor otomotif.
“Sektor otomotif ini negara Eropa semuanya memberikan insentif, dan insentif itu didesain ada caping price kendaraan," kata Airlangga.
Airlangga menambahkan, pemberian insentif untuk pembelian mobil listrik karena pemerintah mengetahui harga mobil listrik jauh lebih mahal dari mobil biasa atau sekitar 30 persen lebih tinggi.
"Negara kompetitor kita paling dekat Thailand pun memberikan subsidi yang sama. Kita juga butuh market pengembangan pasar supaya jumlah mobil listrik itu bisa mencapai minimal 20 persen di 2025 atau sejumlah 400.000 unit," ungkapnya.
Ketua Umum Partai Golkar ini mengatakan, insentif yang akan diberikan itu tidak sama dengan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
"Ini bukan subsidi tapi insentif, kami berikan dalam rupiah tertentu, ini sedang bicara dengan ibu Menteri Keuangan nilainya Rp5 triliun, nanti dibagi motor berapa, mobil berapa, bus kita akan pertimbangkan juga," sambungnya.
Sementara, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, menegaskan, pemberian insentif untuk mobil dan motor listrik bertujuan untuk mendorong hilirisasi dan pertumbuhan manufaktur di Indonesia.
Agus menuturkan, insentif merupakan satu dari empat tantangan dalam hilirisasi yang bertujuan untuk mewujudkan transformasi struktural dalam industri manufaktur. Menurutnya, insentif harus ramah terhadap investor dan ramah kepada market. Pemberian insentif untuk mobil dan motor listrik juga telah disampaikan Pemerintah Indonesia saat berkunjung ke Brussel.
“Jadi insentif ini juga perlu dan kita perlu melakukan benchmarking terhadap insentif-insentif apa yang dilakukan negara-negara lain, khususnya negara-negara kompetitor,” katanya.
Tantangan lain yang harus dihadapi industri manufaktur dalam melakukan hilirisasi untuk menciptakan nilai tambah adalah sumber daya manusia yang kompeten. Sebab, setiap tahunnya sektor manufaktur membutuhkan paling kurang 600 ribu tenaga kerja baru. Kemudian, perluasan kerja sama internasional untuk membuka pasar ekspor baru turut menjadi tantangan dalam hilirisasi manufaktur.
Pemerintah telah menetapkan Eropa dan Afrika sebagai target pasar ekspor. Indonesia pun mendorong percepatan penyelesaian perundingan IEU-CEPA yang akan membawa manfaat sangat besar bagi kedua belah pihak.
“Khususnya bagi industri manufaktur agar barang-barang kita bisa bisa lebih mudah dikirim ke Eropa sebagai market yang cukup besar. Afrika juga negara-negara non traditional market yang harus kita ekspor,” sambungnya.
Sedangkan, tantangan keempat dalam hilirisasi adalah tekanan dari international trade dan diplomasi nikel, seperti gugatan ekspor nikel di World Trade Organization (WTO).
Agus menyampaikan, hilirisasi telah banyak menorehkan success story. Seperti hilirisasi manufaktur di agro industri subsektor kelapa sawit dengan nilai tambah yang sangat jelas. Dari pohon menjadi minyak goreng mempunyai nilai tambah 1,36. Kemudian ke margarin nilai tambahnya 1,86, ke fatty acid nilai tambahnya 1,88, ke surfaktan 2,66, serta ke kosmetik nilai tambahnya 3,88.
“Untuk ekosistem subsektor CPO ini juga kita telah menciptakan direct tenaga kerja 2,5 juta dan juga menghidupkan sekitar 21,4 juta secara nasional,” tuturnya.
Kemudian, success story pada hilirisasi tambang dan mineral adalah nikel yang bisa menciptakan nilai tambah hampir 400 kali lipat. Selain juga memanfaatkan nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik hingga alat kesehatan, alat dapur hingga industri kedirgantaraan.
Editor: Rusdiyono
Komentar