JAKARTA – Ramainya pembahasan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup menjadi perhatian serius Wakil Ketua Komisi II DPR, Yanuar Prihatin.
Menurut politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, kondisi tersebut merupakan gejala yang aneh di tengah persiapan menuju Pemilu 2024. Tak tanggung-tanggung, usul tersebut dimajukan melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Yanuar mengatakan, sistem proporsional tertutup digunakan sepanjang pemilu di zaman Orde Baru. Hasilnya, rakyat tidak kenal calon yang akan mewakilinya.
“Di TPS, para pemilih seperti membeli kucing dalam karung. Kedaulatan pemilih dikubur oleh kedaulatan partai, dan kegairahan politik hanya milik segelintir pengurus partai. Pada saat itu, jangan harap muncul partisipasi politik rakyat dalam skala masif, yang ada adalah mobilisasi untuk arak-arakan di jalan raya,” kata Yanuar dikutip dari keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Yanuar menyebut, rakyat mungkin berdebat soal partai politik mana yang akan dipilih, tetapi mereka tidak tahu siapa orang yang akan membantu memperbaiki nasibnya.
Rakyat sebagai pemilih pun sangat jauh dengan anggota legislatif yang merupakan jembatan mereka karena tidak mengenal dekat orang yang mereka pilih.
“Dan jangan lupa, sistem proporsional tertutup di masa lalu telah menghasilkan oligarki di dalam partai. Tertutupnya kompetisi antara sesama kader juga melahirkan para politisi yang lebih mengakar ke atas daripada ke bawah,” ujarnya.
Menurutnya, bagi parpol yang punya tradisi komando yang kuat dan sedikit otoriter, sistem ini lebih disukai. Bahkan, bagi kader parpol yang berjiwa oportunis, elitis dan tidak mampu berkomunikasi dengan publik, sistem proporsional tertutup adalah peluang terbesar bagi karir pribadinya.
“Masa iya sih sistem pemilu seperti itu masih mau dipertahankan? Justru karena kita semua memahami bahwa ada salah arah, maka akhirnya sistem proporsional terbuka dijadikan kesepakatan bersama sejak Pemilu 2009,” terang Yanuar.
“Kita akui ada over dosis dengan sistem ini dalam pelaksanaannya. Seperti menguatnya pragmatisme caleg dan pemilih, biaya mahal, politik uang marak, muncul tokoh-tokoh baru non kader partai, kerumitan dalam pemungutan dan penghitungan suara, kompetisi yang tidak sehat, bahkan di antara sesama caleg partai, hingga terabaikannya kualitas caleg yang terpilih,” sambungnya.
Meski begitu, kata Yanuar, semua itu harus dihapami sebagai proses belajar demokrasi yang sedang berjalan. Sebab, pada akhirnya semua pihak akan menemukan titik keseimbangan yang alami untuk bersama-sama mengerem laju pertumbuhan negatif dari demokrasi.
“Jika mobil direm secara paksa dan mendadak, pastilah menimbulkan kegoncangan bagi para penumpangnya. Bahkan, bisa timbulkan kecelakaan yang fatal,” ujarnya.
Yanuar menambahkan, mereka yang ingin mengembalikan sistem pemilu ke arah tertutup sama saja dengan pembawa musibah dan kecelakaan. Apalagi, jika MK turut melegalisasi sistem tertutup, artinya sudah terjebak dalam konspirasi.
Dia meminta semua pihak jangan main-main dengan persoalan sistem Pemilu 2024 nanti. Pasalnya, semua anak bangsa sudah berinvestasi besar untuk menumbuhkan kegairahan dan partisipasi politik rakyat, memperkuat hubungan timbal balik antara rakyat dan wakilnya, serta membangun budaya kompetisi yang masih terukur.
“Oligarki politik relatif mendapatkan hambatan untuk tumbuh melalui sistem proporsional terbuka ini,” kata dia.
Yanuar menegaskan, sistem proporsional terbuka telah memberi peluang kepada segenap warga negara untuk berkarir dalam politik apapun latar belakangnya. Hak asasi atas karir pribadi ini juga harus dijamin oleh partai politik, tidak boleh dirampas atas nama kaderisasi belaka.
Sehingga, bila ada kader yang kurang loyal kepada partainya, hal itu merupakan urusan internal partai untuk memperbaikinya, bukan sistem pemilu yang dijadikan sasaran kesalahan.
Editor: Rusdiyono
Komentar