JAKARTA - Penerapan sistem proporsional terbuka dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 dinilai dapat memicu biaya politik yang tinggi.
Kondisi tersebut bisa membuat seorang calon legislatif (caleg) yang memiliki kualifikasi mumpuni dari aspek intelektual, selalu kalah dengan caleg yang mengandalkan modal besar. Bahkan ironisnya, dari pemilu ke pemilu, biaya politik yang dikeluarkan caleg semakin mahal.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) Bali, Putu Gede Arya Sumertha Yasa, menyebut, kondisi tersebut mengakibatkan caleg-caleg cenderung terpilih karena memiliki banyak uang, sehingga kemampuan untuk memperjuangkan hak rakyat tidak menjadi ukuran prioritas pemilih.
Dia berpendapat, sistem proporsional terbuka membuat kader partai yang mumpuni dan senantiasa ikut menjalankan roda organisasi kepartaian dalam melaksanakan pendidikan politik bagi anggota ataupun masyarakat luas serta membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sering dikalahkan dengan calon yang punya banyak uang. Hal tersebut jauh dari semangat nilai musyawarah yang dikehendaki oleh pendiri bangsa Indonesia.
“Sistem proporsional terbuka juga menghendaki persaingan sebebas-bebasnya, sehingga berdampak pada ruang-ruang perselisihan antarcalon legislatif, termasuk di internal partai semakin mengeras," kata Putu Gede sebagaimana dikutip dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Menurutnya, lambat laun, kerapuhan partai-partai politik dapat terjadi akibat kuatnya individual bermodal di tubuh partai. Lalu, pada akhirnya, tujuan dari partai politik sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan untuk turut andil dalam pembangunan negara bisa terhambat.
Saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji materi UU 7/2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Apabila uji materi itu dikabulkan oleh MK, sistem Pemilu 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.
Meskipun ada pihak yang mendukung penerapan sistem proporsional tertutup, namun ada pula pihak yang keberatan, seperti mayoritas fraksi di DPR. Mereka menginginkan sistem proporsional terbuka yang digugat itu untuk terus dipertahankan.
Editor: Rusdiyono
Komentar