JAKARTA - Pembentukan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja banyak menuai protes dari berbagai pihak. Namun, kehadiran Perppu tersebut dinilai sesuai prosedur dan konstitusional.
Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat, sehingga perlu diperbaiki.
Dalam putusan yang berisi 448 halaman itu, MK memerintahkan kepada pembentuk UU Cipta Kerja untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Profesor Satya Arinanto, Perppu Cipta Kerja merupakan sesuatu yang konstitusional berdasarkan berbagai teori HTN Darurat dan hukum positif yang mengatur mengenai kedaruratan di Indonesia. Dengan demikian, tentunya tidak ada kudeta konstitusional dalam pemberlakuan Perppu Cipta Kerja.
Satya menjelaskan, Perppu Cipta Kerja dinilai konstitusional merujuk UUD 1945, teori hukum tata negara (HTN) darurat, dan Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009.
"Pasal 22 UUD 1945 merupakan salah satu pasal yang masih asli. Dalam arti tidak ikut mengalami perubahan dalam proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi (1999-2002)," kata Satya dalam diskusi "Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja" di Jakarta, Sabtu (7/1/2023).
Dia menambahkan, dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut dinyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Kemudian, jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Dia menjelaskan, parameter kegentingan memaksa yang bisa menjadi dasar dalam penerbitan Perppu. Menurut Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009, yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Karena UU yang dibutuhkan belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada.
"Terjadinya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan/kebutuhan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," ujarnya.
Satya mengatakan, Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 menerbitkan Perppu Ciptaker yang melahirkan beberapa pro dan kontra dan juga hoaks yang beredar secara viral melalui berbagai grup WA. Disamping itu, pro dan kontra tersebut juga diramaikan oleh media massa.
Dia mengatakan dari pantauan awal terlihat bahwa salah satu akar dari timbulnya pro dan kontra tersebut adalah karena belum semua pihak membaca naskah Perppu tersebut secara lengkap.
"Kalaupun sudah membaca baik secara lengkap maupun sepintas, salah satu fokus yang langsung disoroti adalah mengenai aspek 'kegentingan yang memaksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945," ujarnya.
Hal senada disampaikan Peneliti Kolegium Jurist Institute, Luthfi Marfungah. Dia menilai tidak ada kudeta atau pengkhianatan terhadap konstitusi dalam penetapan Perppu Cipta Kerja.
Dia mengatakan penetapan Perppu Cipta Kerja merupakan tindakan yang rasional dan konstitusional. Sebab, selain dijamin dalam UUD 1945, langkah tersebut ditujukan untuk kepastian hukum setelah adanya Putusan MK 91/2020 yang mengamanatkan adanya perbaikan UU Cipta Kerja yang disertai tenggat waktu. Penetapan Perppu Cipta Kerja merupakan jalan keluar sebelum semua masalah dalam UU Cipta Kerja selesai diperbaiki oleh para pembentuknya.
Di samping itu, keberadaan Perppu Cipta Kerja memang dibutuhkan karena selama waktu perbaikan UU Cipta Kerja, tidak boleh ada kekosongan hukum demi menjaga stabilitas perekonomian.
“Dalam rangka memperbaiki hal tersebut, alangkah bijak untuk mengantisipasi stagnasi, sehingga kevakuman bisa dihindari agar iklim perekonomian terjaga. Dengan demikian, jalan keluar dibentuknya Perppu adalah untuk menanggulangi situasi dan keadaan. Pilihan itu adalah pilihan yang rasional dan konstitusional,” ujar Luthfi dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (7/1/2023).
Menurutnya, di tengah kondisi global yang bergejolak dan keterbatasan ruang gerak dari kebijakan makro, penguatan fundamental ekonomi domestik untuk menjaga daya saingnya memang harus menjadi prioritas utama Indonesia.
“Stabilitas kekuatan permintaan domestik, terutama konsumsi privat dan investasi di tengah meningkatnya tekanan harga dan terpuruknya pertumbuhan global sangat bergantung pada kemampuan Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik pasar domestik bagi investor,” kata Luthfi.
Sementara itu, mengenai partisipasi yang bermakna, pembentukan Perppu Cipta Kerja telah mencakup tiga komponen hak. Yaitu, hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Sementara, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Profesor Aidul Fitriciada Azhari, menilai Perppu yang diterbitkan Presiden Jokowi justru menyelamatkan putusan MK yang mengamanatkan mempertahankan UU Cipta Kerja.
"Perppu menyelamatkan Putusan MK yang mengamanatkan mempertahankan UU Ciptaker berdasarkan tujuan strategis UU a quo," kata Aidul Fitriciada Azhari dalam diskusi Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja di Jakarta, Sabtu (7/1/2023).
Dia menjelaskan pertimbangan hukum dari putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 yakni mahkamah menentukan UU 11/2020 dinyatakan secara inkonstitusional secara bersyarat.
"Dikarenakan mahkamah harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan," kata dia.
Di samping itu, MK juga harus mempertimbangkan tujuan strategis dari dibentuknya undang-undang tersebut.
"Saya rasa (Perppu) menyelamatkan Undang-undang Cipta Kerja karena sudah diamanatkan oleh keputusan MK yaitu perbaikan selama 2 tahun untuk mempertahankan nilai-nilai strategis, tujuan strategis dari Undang-undang Ciptaker ini," katanya.
Dia mengatakan sebenarnya UU Cipta Kerja merupakan amanat MK sendiri. Hanya saja, UU tersebut harus memenuhi syarat pembentukan undang-undang dan hal itu harus dipenuhi usai terbitnya putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 yakni dengan memperbaiki dari UU tersebut.
"Nah, permasalahannya DPR belum menunjukkan kinerja untuk menyelesaikan kewajiban membuat memperbaiki Undang-undang Cipta Kerja ini. Dan itu diambil alih oleh presiden," kata dia.
Menurut Aidil, langkah yang diambil Presiden Jokowi itu lebih baik jika dibandingkan membiarkan proses berjalan begitu saja tanpa kejelasan dari DPR.
"Sementara situasi DPR juga menghadapi tahun politik yang membuat pecah konsentrasi antara pemilu dan kewajiban legislatifnya, maka tidak ada pilihan, bagi Pak Jokowi untuk membuat perppu ini," ujarnya.
Editor: Rusdiyono
Komentar